Minggu, 06 November 2011

intrumen musik mandar


PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim…!!!
Syukur Alhamdulillah, Pertautan sejarah kembali diperdendangkan, masih tetap mengisahkan tentang peristiwa siapa dan apa…ya…karena memang siapa dan apa adalah bagian dari kategori sejarah…lanjut…mungkin berambisi atau tidak waras berhalusinasi memimpikan ambung padahal sebetulnya tidak mempunyai kapasitas untuk memiliki ambalang atau alat untuk melempar batu jauh-jauh, akhirnya akan mengambang juga, tidak jelas seperti apa anggapan para pembaca ketika larut dalam tulisan ini, meskipun demikian saya tetap berusaha menyampaikan dengan  segala kerendahan hati untuk disimak, diresapi sebagai bagian dari tulisan yang serat untuk dibaca, keinginan yang mendasari penguraian ini, karena rakit yang dipasang dari kiri kanan perahu tak mampu lagi menjadi pelampung atas ambruknya segala persiapan meluruskan kemudi dari serangan ombak Eropa, karang–karang terkikis menjadi pasir, akhirnya menciptakan springbed disiang bolong, tidak lama lagi semuanya lenyap, runtuh, akibatnya untuk membanggakan apa yang sedang dimiliki akan tinggal sebuah kenangan.
            Tahun 2000 An yang mungkin sampai sekarang ketika diamati, para pelaku tradisi mengalami pasang surut, kedua melihat literatur-leteratur baik itu diperpustakaan daerah maupun diluar belum ada yang membahas secara khusus, ketiga masih sangat banyak tidak mengerti tentang referensi ini baik itu generasi tua maupun muda, orang dalam apalagi orang luar. Dari beberapa pernyataan diatas menjadi sebuah penanda determinan penulisan ini.
            Musik mandar adalah sebuah peristiwa anteseden olehnya itu diperlukan cara membangkitkan kembali semangat bagi para pecinta untuk melakukan seindah dari yang pernah dilakukan. Hari itu saat deklarasi Sulbar, di makam pahlawan korban 40 ribu jiwa Galung Lombok, kalau tidak salah tahun 1997,  mata terpesona melihat tingkah laku Kadatira dan Kamusa yang sangat lentik memainkan instrument kesayangannya (kecapi) serta suara khas tidak dimiliki oleh daerah lain ketika lantunan syair diperdendangkan, saya dikembalikan pada suasana  waktu masih kecil, cerita dari Bapak tercinta bahwa kakek kanne Buri  dulunya pamain Keke profesional dan Kakek kanne Ganna kegemarannya memainkan kecapi,  kemudian tahun 1998 dikediaman Mat Panggung telah dicetus helatan seni Kelakar Budaya setiap bulan, membuat semakin antusias dalam melakukan coretan-coretan dan menyambut baik ketika Sanggar Layonga mendapat kehormatan menjadi pelaksana, keputusan secara internal dalam Sanggar untuk  menempatkan helatan selanjutnya dikediaman  Mahmud Ganna atau tempat tinggal saya kala itu, ditengah-tengah peserta, saya mencoba mengisi iringan Calong Kadatira dengan lagu Batang Rappe karya Syaiful Sindrang, lontaran Bapak Nurdin Hamma yang mengatakan “Baru kali ini saya menemukan pertunjukan Calong disertai dengan syair” Hal ini adalah merupakan bagian dari keprihatinan terhadap musik Mandar yang semakin terpinggirkan, kalimat itu pertanda bahwa masih banyak yang perlu dikaji sebagai jalan untuk menghindari sikap asosial, ditambah lagi ketika ditunjuk sebagai menejer panggung dalam acara Malam SENI Musik Tradisi yang dihelat oleh teman-teman BoNek Bala, ditempat itu saya bertemu lagi Almarhum Kadara (Alfatiha..semoga diterima disisinya Amin) sala satu pemain Tambolang serta beberapa pemain lainnya hingga berkolaborasi.
Lebih lanjut menyikapi persoalan ini yang semakin hari semakin tidak pernah digubris, 2003 tiba keinginan mempertunjukkan seluruh bagian dari musik mandar secara bersamaan dalam durasi 15 menit hingga melahirkan komunitas baru khusus seni dibidang tradisi Mandar “Assamalewuang” Saya tahu bahwa itu salah dan sudah ditentang keras oleh kepala kantor Pariwisata PolMas (sekarang PolMan). 2006 di Hotel Ratih kritikan kembali menuai dalam diri saya tapi kali ini semua dikeluarkan melalui bibir manis para seniman dan budayawan  mandar, sebetulnya waktu itu di hati saya mengatakan, tidak akan berhenti sampai disini jika para pelaku tradisi belum mendapatkan hak-haknya, maka dari itu diam-diam tetap melakukan demi satu harapan megembalikan masa kejayaannya, sekarang 2010 saya mulai berhenti.
Alangkah bahagianya jika para pelaku tradisi dapat memenuhi segala apa yang dicita-citakan, meski mereka tidak pernah membayangkan dan mengharapkan untuk mendapatkan imbalan yang berlebiahan termasuk penghargaan tertinggi. Ada sebuah catatan yang anda harus paham bahwa ketika bertatap muka para petinggi (pemerintah) mereka sangat bahagia apalagi jika diberi kesempatan untuk tampil dihadapannnya, teringat ketika mendatangi mereka untuk dimintai keterangan,  setelah mempertanyakan berapa standar honor pentas, ternyata tidak ada penentuan secara profesional melainkan selalu secara kekeluargaan, itu berarti berapa besar yang diserahkan itulah yang diterima, saya teringat lagi saat menyerahkan honor kepada Ibu Cammana, Bapak Tombo Pazdua, Ka Dara Saherin (Almh), dan Ka Dathira, alngkah terkejutnya saat membuka amplop itu mereka lalu balik menyerahkan sambil mengucapkan ”Diambandi rie muala rio anaque…” (apakah ananda juga mendapatkan dari amplop ini)setelah mendengarkan pernyataan itu, sangat jelas betapa ikhlasnya perbuatan mereka.
Dari pemaparan ini sehingga melakukan hal-hal yang kurang etis, saya beranggapan bahwa perbuatan ini jauh dari Amalaqbiang, saya biadab karena melakukan kolaborasi diantara beberapa pelaku asli tradisi dan sama halnya menginjak-injak sebuah nilai, saya terdakwa manusia ceroboh karena melakukan pementasan yang tidak layak pentas, saya hina karena mengeluarkan pendapat, fikiran saya dangkal dan kerdil akibat terlalu prihatin, tetapi saya sepakat jika melakukan kesalahan untuk sebuah harapan yang lebih baik.   
         lebih menarik ketika di teater Flamboyan, komunitas Assamalewuang, yayasan Beru-beru, lembaga seni tradisi dan Modern “One dO” beberapa kali membawa benda-benda ini diluar daerah, pertanyaan-pertanyaan sering kali terlontar ditelinga kami…Alat apa ini?.. hal itu terkadang membuat kesulitan untuk menjawabnya. pernyataan-pernyataan itu membuktikan keterpanggilan untuk melakukan perbuatan yang dianggap suci serta proses janji yang harus dibayar meskipun belum lunas, sebagai pelaku musik Mandar, tak wajar rasanya jika hanya instrument musik luar yang dipahami sedangkan mandar tidak, melihat literatur-literatur atau mendengar secara langsung, sangat menyedihkan ketika kaum awam apalagi kaum intelek masih menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dalam hal ini seperti kata memukul, tidak dibenarkan menggunakan kata itu untuk menjelaskan sebuah permainan musik.
         Saya mencoba memilih cara yang tidak muda hilang, dan kepada pencipta semoga mereka tersenyum di alam sana. Dalam tulisan ini saya tertarik untuk meneliti mengenai Alat music Tradisional Mandar, terlebih belum ada penelitian-penelitian yang mengkaji tentang keberadaannya di wilayah Mandar. Selain itu belum ada dokumen-dokumen tertulis yang membahas mengenai alat musik. Kalaupun ada tidak banyak menjelaskan secara medetail, beberapa sumber ilmiah yang diketahui membahas tentang Alat Musik Tradisional Mandar diantaranya Seni tradisional Sulawesi Selatan Oleh Hj. Munasiah Najamuddin tahun 2002, Ensiklopedi Sejarah dan Kebudayaan masyarakat Mandar edisi Pertama dan kedua oleh Suradi Yasil 2004. Kedua sumber ini hanya memberikan penjelasan yang sifatnya informatif tanpa disertai dengan analisis secara histori. Saya menginginkan didalam tulisan ini agar sekiranya dapat mengambreng, tercium, tersebar luas, semua harus mengetahui bukan hanya dibagian fisiknya saja melainkan seluruh yang berhubungan dengan masa kelahirannya, lalu diarahkan kewilayah anfas yang akan menambah keanggungan derajat budaya mandar.
Untuk itu tidak  pantas rasanya dan tidak lengkap  Akhirnya memaksa saya mengatakan dan menyaut sekeras-kerasnya supaya mempertajam penganotasian Anda, disebabkan oleh kesadaran bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu       terima kasih pada H. Muahammad Yunus, S.Sos (Kabid Pengusahaan Hutan) pak Agus (bagian lapangan Polhut Polman), Mia (bagian perisinan), dan















Dipilih Sebagai Bagian dari budaya
Negara ini terdapat berbagai macam suku, hampir setiap suku memiliki kesenian yang berkembang berdasarkan latar belakang sosial budaya maupun proses sejarahnya. Dahulu wilayah Mandar terletak di wilayah provinsi Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah yang kaya akan potensi budaya, sama halnya dengan etnis lainnya terdapat di Sulawesi Selatan yakni Makassar, Bugis, Mandar Dan Toraja. Empat etnis ini masing-masing memiliki seni musik, didalamnya terdapat beberapa jenis alat yang digunakan untuk melakukan pertunjukan. Unsur seni musik tersebut kesemuanya ini tampak masih berkembang dibeberapa daerah di Mandar karena masih sangat sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Seni musik didalam masyarakat Mandar adalah untuk kepentingan kegiatan- kegiatan tertentu, karena seni musik bagian dari kehiduapan masyarakat pendukungnya, yang saling berhubungan dengan suatu peristiwa ritual dan pesta keramaian atau hiburan.
Mengamati musik tradisional di Mandar sudah menjadi tradisi masyarakat setempat sehingga dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya. Tradisi ini telah tumbuh dan berkembang dalam setiap aktivitas sosial masyarakat. Musik dalam masyarakat Mandar sampai saat ini masih terus menjadi bagian penting dalam setiap upacara adat maupun acara lainnya, keberadaannya diletakkan sebagai suatu yang selalu berhubungan dengan siklus kehidupan masyarakat, bila ingin membuat acara semakin hidup maka biasanya menampilkan pertunjukan Musik, hal ini yang membuat diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat.
Dalam upaya mempertahankan dan melestarikan peninggalan budaya pendahulu, kita diharapkan kembali menggali dan menelusuri nilai-nilai budaya tradisional. Hal ini menjadi penting, mengingat budaya yang merupakan seni kreativitas manusia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan oleh dimensi ruang dan waktu, yang berarti bahwa seni budaya berkembang saat ini merupakan transformasi budaya yang telah ada sebelumnya dan akan berkembang seiring majunya peradaban.
Kebudayaan merupakan hasil daya upaya dari proses berpikir manusia untuk meningkatkan dan mengembangkan tingkat kehidupan material dan spiritual, yang kemudian dimanifestasikan dalam kehidupannya. Salah satu bentuk kebudayaan yang dapat dengan mudah dilihat dan masih berkembang sampai saat ini adalah  budaya dalam wujud kesenian.
Dalam sejarah ummat manusia kesenian musik telah turut mewarnai dinamika yang berkembang dalam kehidupannya. Apakah musik itu sebenarnya dan maknanya bagi kehidupan manusia? sepanjang sejarah banyak ahli musik yang secara ilmiah telah berupaya mendefenisikannya menganggap musik sebagai bahasa para dewa. David Ewen mencatat sebuah defenisi tentang musik yang dibuat penyusun kamus sebagai ilmu pengetahuan dan seni tentang kombinasi ritmik dan nada, baik vokal maupun instrumental yang meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi diri segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek emosional. (David Ewen 1965: 23).
Seni Tradisional merupakan salah satu bentuk kesenian tradisi masyarakat Mandar Sulbar dalam bidang seni musik, sampai saat ini masih dapat dijumpai pada setiap pelaksanaan kegiatan tertentu, terutama pada acara-acara yang menampilkan berbagai macam kesenian daerah. Meskipun pementasan musik Tradisional sudah sangat jarang dilakukan, namun ada beberapa komunitas atau kelompok yang menjadikan aktifitas ini sebagai hiburan sehari-hari merek.
Musik juga begitu melekat dengan hidup keseharian masyarakat Mandar yang ada di Provinsi Sulawesi Barat, pementasan music masih biasa dijumpai pada setiap pelaksanaan acara-acara perkawinan, dan acara-acara lainnya, bahkan acara yang diselenggarakan khusus untuk menampilkan kepiawaian seseorang memainkan dan menjadi hiburan bagi masyarakat setempat. Tak dapat dipungkiri bahwa, budaya ini telah ikut mewarnai perjalanan sejarah masyarakat Mandar. Bagi mereka, music tidak hanya menjadi piranti kesenian yang menjadi hiburan semata, tetapi juga memiliki nilai-nilai filosofis, psikologis dan sosiologis tersendiri, sehingga menjadikan sebagai sesuatu yang sakral adanya.
Begitu erat hubungan musik tradisional dengan masyarakatnya, sehingga sangat memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam setiap petunjukannya.  Hal ini jika dikaitkan dengan fungsi seni pertujukan  dalam lingkungan-lingkungan etnis di Indonesia yang dikemukakan oleh Edi Setiawati sangat relevan dengan fungsi alat musik tradisional di Mandar. memiliki fungsinya seperti yang dikatakan Edi Setiawati  yang menyebutkan bahwa fungsi seni pertunjukan etnik di Indonesia sebagai berikut: Pemanggil kekuatan gaib, Penjemput roh-roh pelindung untuk hadir ditempat pemujaan, Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, Peringatan pada nenek moyang yang dengan menirukan kegagahan maupun kesiagapaanya, Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat seseorang, Perwujudan dari pada dorongan untuk meningkatkan keindahan semata. (Edi Sedyawati, 1981: 53). Fungsi yang dikemukakan dapat ditambahkan dengan pendapat Alan P. Merriam yang mengatakan bahwa musik memiliki beberapa fungsi yakni: sebagai ekspresi emosional, sebagai kenikmatan estetis, sebagai hiburan, komunikasi, penggambaran simbolik respon fisik, sebagai kesesuaian dengan norma-norma sosial dan ritual religius, sebagai penopang kesinambungan, dan stabilitas kebudayaan dan musik juga berfungsi sebagai penopang integritas sosial. (Alan P. Merriam, 1964: 223).
Jenis kesenian yang terdapat di wilayah Mandar, merupakan salah satu bentuk seni yang masih dikenal secara umum dikalangan masyarakat Mandar. Musik tradisional satu-satunya bentuk permainan yang tidak dapat dengan mudah hilang begitu saja,  musik ini terdiri dari instrument calong, Tambolang, Rebana, Tawa-tawa, Ganrang Macca, Keke, Sattung, Gongga Lima, Gongga Lawe, Gesok, Katto-kato, Sia-sia, Ulele, dan Kulung-kulung tentunya disertai pemain dan penonton sebagai pelengkap yang juga dapat dikatakan sebagai bagian dari pertunjukan, keterlibatan penonton dalam pertunjukan menjadi penting karena biasanya semakin menarik ritmis atau motif tabuhan dalam permainannya, terkadang ada penonton yang ingin melakukan Pamacco (pemberi barang atau uang terhadap pemain ) dan ketika terjadi peristiwa itu didalam pertunjukan, maka pertunjukan semakin menarik. Adanya sambutan baik dari penonton tidak lain disebabkan oleh permainan pemain saat pertunjukan. Menyaksikan penampilannnya terlihat sangat  komunikatif dan menghibur. melihat penomena kesenian ini sangat kontekstual yang sifatnya menerangkan dengan jelas, setelah diketahui bahwa didalam ilmu etnomusikologi terdapat tiga poin yang menjadi dasar untuk menjabarkan setiap peristiwa yaitu antropologi, sosiologi, dan sejarah. Solihing, (2004) dalam bukunya royong  musik vokal sebagai komunikasi gaib Etnomusikologi, pada hakikatnya adalah sebuah bidang ilmu yang mengkaji musik sebagai kultur, dengan kata lain, etnomusikologi ”cara melihat kebudayaan dari jendela musik” selain meneliti musik itu sendiri, ruang lingkup penelitian mencakup budaya, material musik, teks musik, teks nyanyian, kategori musik, konsep dibalik tingkah laku pemusik, pelatihan dan kehidupan musik, peran dan status pemusik, guna dan fungsi, serta musik sebagai aktifitas kreatif (Solihing, 2004: 15).





Perkembangan Alat
            Permainan pada zaman priode kerajaan, alat musik tradisional Mandar mengalami perubahan yang sangat signifikan, dimana instrumen-instrumen sangat digemari oleh semua kalangan saat itu, dimulai dari anak-anak sampai kitingkat dewasa, (Sakkai Mosso 2006.) alat musik tradisional Mandar banyak mendapat dukungan dari pemain-pemain terkenal yang mengiringi perkembangannya, sehingga saat itu alat tersebut semakin memiliki power yang tinggi dan menjadi permainan nomor 1 diera itu, Alat musik tradisional, tidak lepas dari upacara adat, seperti upacara adat pengangkatan raja, pernikahan dan lain-lain, sama halnya didaerah lain  seperti Makassar. 
Setiap tindakan manusia senantiasa berhubungan dengan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan dengan kata lain, jika seseorang mempunyai kepentingan pada suatu apapun maka hal tersebut mempunyai nilai, seperti halnya yang terkandung dalam suatu benda yang dapat memuaskan keinginan manusia, Maka semua yang terjadi didalam permainan alat musik tradisional adalah merupakan sebuah upaya yang dapat memberi spirit yang membangkitkan semangat kegairahan terhadap pemain maupun pendengarnya. (Ibid Solihing, Hal: 74).
Dahulu Instrumen musik mandar tidak henti-hentinya menjadi idola  masyarakat sebab tidak ada cara lain yang sifatnya sangat straregis untuk mengimbangi suasana senggang, ditambah lagi ketika para bangsawan dilanda rasa pengap, stres, dan sebaginya senantiasa dapat dianggap merusak seluruh organ-organ tubuh pada saat selesai ataupun tidak dapatnnya diatasi setiap persoalan, baik itu didalam lingkup kebangsawanan itu sendiri maupun didalam masyarakat. Banyak pemainan musik mandar populer kala itu seperti pertunjukan Tambolang yang secara khusus dilakukan di pesisir pantai, pertunjukan Paluppung dimainkan saat musim panen padi telah tiba, yang konon katanya benda ini merupakan Protetife dari musik keke, kemudian permainan calong dilakukan saat menunggu tanaman dikebun, pertunjukan Gongga lima dan Gongga lawe yang dimainkan untuk mengiringi aktivitas seorang gadis saat melakukan perjalanan menuju tempat pengambilan air, dan banyak lagi tetapi sebagai alat bunyi yang tanpa jelas intonasi yang dihasilkan.
Perjalanan musik mandar menjadi ikon terbesar setelah hadirnya instrumen musik kecapi atau pertunjukan Pakkacaping, tidak satupun melewatinya sebab dianggap sebagai ajang pertemuan satu sama lain untuk melakukan berbagai macam tingkah, didalam pertunjukan itu  bukan kesedihan yang terjadi melainkan kebahagian didapatkan sebab antara pemain dan penonton saling merespon, ditambah lagi ketika dilihat dari beberapa item pertunjukannya terdapat gadis-gadis cantik yang sengaja dihadirkan, duduk disamping pemain sebagai bigian dari inspirasi bahan nyanyian pelantun kecapi, bukan cuma itu saja terkadang para pemuda cepat menemukan jodohnya akibat adanya aturan main yakni dapat memberi langsung barang berharga terhadap gadis yang diinginkan, iteraksi masyarakat lebih terlihat dibanding dengan kegiatan-kegiatan lain sebab mau tidak mau, didalam suatu komunitas menjadi faktor utama yang diinginkan ialah kebersamaan, toleransi antar ummat, dan sebagainya asalkan tidak mengundang unsur sara.
Setelah abad 17 kondisi mandar memasuki pengaruh dari Islam, permainan alat musik pelan-pelan menuai sorotan dan mendapat cekalan dari kalangan ulama karena dianggap permainan tersebut tidak sejalan dari ajaran-ajaran islam, bukan cuma itu saja permainan itu terkadang membuat sara jika sedang berlangsung misalnya: Pakkacaping, melacak pertunjukannya ditemukan bagian permainan yang tidak sejalan dengan ajaran islam. Sekarang di zaman modern ini permainan alat musik tradisional kembali diperdendangkan dengan alasan mempertahankan budaya/pelestarian, meskipun hanya masyarakat pelosok  saja yang terkadang masih mendewakan permainan itu dibanding permainan modern.
Setelah itu kecapi mulai terperosot dengan hadirnya permainan baru yakni musik rebana, musik rebana menjadi permainan propaganda karena selain digunakan untuk menyiarkan agama juga dianggap sebagai media paling ampuh, pembawa kedamaian, serta selalu menjaga keutuhan tentang persepsi masyarkat yang berbeda. Meskipun permainan rebana sangat mendominasi namun permainan-permainan lain tetap populer tetapi pertunjukaanya kembali pada pemunculannya yang semula yakni ditempat-tempat khusus 
Namun Andaikata masyarakat tidak rindu akan hal itu, maka musik tradisional akan semakin terperopsot, yang menghawatirkan kemudian adalah sebagian alat musik tradisional akan tinggal kenangan ketika para pelaku sudah tidak aktif lagi apalagi sudah tiada, sudah sangat jarang yang mau mempelajari permainan itu malah ada permainan alat musik tradisional Mandar yang sudah tinggal dua pemainnya masih aktif  itupun sudah lanjut usia.


 Dari Mana dan Untuk Apa
Indonesia dikenal dengan banyak pulau atau disebut nusantara, didalamnya memiliki alat musik tradisional, alat musik tersebut ada yang terbuat dari kayu, bambu, logam, kulit binatang, dan  lain-lain. Saat ini memang alat musik tradisional jarang ditemukan, alat musik tradisional kalah dengan musik modern ( Drs. Satrio Purnomo,2005: 24).  Musik tradisional hampir sama kedudukannya dengan music nusantara sebab masing-masing tidak terlepas dari fungsinya dalam masyarakat, dalam artian bahwa musik nusantara maupun music tradisional hadir untuk sebagai sarana ritual dan sebagai sarana hiburan. menurut pengamatan keduanya merupakan bagian dari penjelasan bahwa musik mandar termasuk didalamnya. Referensi tentang asal-usul alat musik tradisional Mandar sampai sekarang belum ada data yang diperoleh secara lengkap baik dari buku-buku tentang  kebudayaan Mandar maupun naskah-naskah tua tentang kejadian-kejadian pada masa kerajaan (lontark). Keterangan asal-usul alat musik tradisional Balanipa hanya bisa didapatkan dari informan yakni: Pelaku alat musik itu sendiri dan budayawan Mandar.
Konon katnya jauh sebelum islam masuk ke Mandar atau jauh sebelum raja Mandar Imanyambungi (Todilaling) dilantik, permainan musik tradisional sudah tersebar diseluruh wilayah Balanipa, karena menurut beliau alat semacam ini hanya digunakan untuk mengisi waktu-waktu luang dikalah senggang, ada sebagian orang yang menjadikan musik ini sebagai alat komunikasi, ada juga yang menggunakan sebagai media sarana  untuk mencari jodoh, biasanya para pemuda masyarakat Balanipa jika ingin berkunjung kerumah perempuan yang disukainya, salah satu alat musik tradisional dibawa dengan tujuan ingin memperlihatkan kemahirannya dalam memainkan alat musik disaat-saat tertentu, pertanda pemuda mempunyai keterampilan, ketarampilan yang dimiliki oleh pemuda bisa menambah nilai untuk memudahkan mendapat perhatian dari sang gadis (Maqlolang). (Tombo Padzua, ihing 21 Agustus 2003.). sedangkan menurut Bapak Hamil salah satu pemain kecapi dari segerang Mapilli mengatakan, ada bahan berupa Nyanyian-nyanyian tanpa pengiring yang dilagukan masyarakat Mandar untuk menidurkan bayi, (musik Vokal) hampir sama  dengan jenis Royong Makassar. Dari sejarah itu masyarakat membuat salah satu pengiring disebut kecapi (kacaping). ( Hamil, segerang 26 Agutus 2004.) lain halnya Bapak Ka Datira mengatakan, pekerjaan-pekerjaan utama masyarakat Balanipa adalah petani, seorang petani Enau/Aren disaat pembuatan gula merah, pekerjaan itu sangat memakan waktu yang lama hingga membuat para petani akan merasa jenuh dan bosan, dari peristiwa itu, dibuatakan alat yang dapat menghibur sekaligus membendung perasaan sedih maupun senang, perlu diketahui bahwa hati dan perasaan para pembuat aren ketika sedang beraktivitas, bercampur menjadi satu.
            Disimpulkan bahwa alat musik tradisional Balanipa Mandar diciptakan berdasarkan kasus-kasus yang menimpa masyarakat itu sendiri, atau peniruan bunyi-buyi alam, sehingga dalam penciptaannyapun tidak disesuaikan dengan nada-nada yang harmoni melainkan berdasarkan bunyi, Robert Burton (1577-1640) dalam deskripsinya mengatakan. Musik adalah suatu rangkaian dari gelombang suara, tetapi gelombang yang dihasilkan Dari suara garukan kuku jari tangan pada papan tulis, tentu tidak bisa digambarkan sebagai musik. Pembuatan musik tidak terbatas pada manusia. Begitu banyak hewan seperti paus dan burung-burung, tampaknya menggunakan musik sebagai alat komunikasi mereka. Musik alam digunakan oleh komponis prancis, Oliver Massiaen, yang dulu keluar masuk pedesaan untuk merekam nyanyian burung-bururng yang akhirnya digabungkan hampir dari satu nada persatu nada kedalam orkes dan pianonya. Sedangkan harus diketahui bahwa kata musik berawal dari kata “Muse” yaitu salah satu dewa dalam mitologi yunani kuno bagi cabang seni dan ilmu, dewa seni dan ilmu pengetahuan. Masyarakat Balanipa saat itu belum memahami nada dan irama apalagi bahasa Musik, mereka hanya mampu membedakan bunyi sesuai dengan hati nurani.
             Sebagian masyarakat Balanipa maupun diluar Balanipa menyimpulkan bahwa alat musik tradisional Balanipa menyebar  keseluruh wilayah masyarakat Mandar (Sulawesi Barat), hal ini dapat dibuktikan ketika salah satu tokoh masyarakat mengeluarkan Stateman sejarah yang konon bahwa nyanyian-nyanyian dan sastra tutur yang senantiasa dilontarkan oleh masyarakat balanipa diluar Mandar mempunyai pengaruh besar. Sastra itu antara lain: “Natama di walanipa maindang kezdo puang (maraqdia), naupokezdoi naung melimbo-limbong” (aku ingin ke Balanipa memimjam tingkah yang bijak, dan akan kugunakan sebaik-baiknya.) (Yali Yasseng, Mantan Anggota DPRD Polewali Mandar 4 Oktober 2009).
Pernyataan ini dapat dikatakan bahwa orang-orang diluar Balanipa di wilayah Sulawesi Barat ketika memperbuat dan melakukan sesuatu itu berdasarkan pada pengaruh Culture Balanipa, dapat ditambahkan ketika menyaksikan satu sisi lain dalam sejarah Paqbandangan yang telah dilakasanakan di Kaju angin Kab. Majene secara turun temurun itu, Bustan Basir Maras  dalam bukunya mengatakan bahwa acara Paqbandangan disiang hari senantiasa  didampingi oleh beberapa kesenian tradisi diantaranya Paqmacca (Silat ala Mandar) diiringi dengan hentakan alat musik tradisional, seperti gandrang (gendang), Gong,  Keke. Dan ketika dimalam hari, beberapa permainan juga sering didalam rangkaian upacara yang sama yakni Pakkeke, Pakkacaping, Paqgandrang, Penari, atau justru perpaduan dari semuanya, yakni Keke,Gandrang,Pakkacaping, berbaur dan menjadi sebuah instrumen musik yang melantungkan nada dan hentakan-hentakan yang indah disertai lagu, lalu beberapa orang perempuan menari sehingga menambah suasana hangat dimalam hari. (Bustan Basir 2007: 69-84)
            Setiap manusia mengharapkan suatu kehidupan yang layak, tentram, dan sejahtera dalam menempuh kehidupan sehari-hari mereka. Banyak cara yang dilakukan manusia  agar mendapat keselamatan kebahagian baik di dunia   maupun di akhirat. (Solihing,  2004: 69). Dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Mandar masih sering dijumpai alat musik tradisional menjadi bagian dari pekerjaan, bahkan pekerjaan pun dilakukan secara tradisi, terkadang kebahagiaan timbul didalam pekerjaan apabila alat musik tradisi menyertainya, misalnya menunggu tanaman dikebun, seorang petani yang rata-rata dari pelosok menggunakan alat musik tradisi sebagai media untuk menghilangkan rasa jenuh dikala senggang. Permainan alat musik tradisional bagi mereka memperlihatkan bahwa  bukan hanya sebuah materi (uang) menjadikan orang bahagia, melainkan suasana yang berbeda ketika lantunan musik tradisi dimainkan, sehingga bukan hanya para pemain yang merasa terhibur tetapi pendengarnyapun ikut demikian. Robert kembali mengatakan bahwa mendengarkan musik adalah suatu pengalaman psikosomatis, yang berarti mempromosikan keselarasan dan kedamaian, mempertahankan suatu kekuatan untuk penemtraman hati dan kepuasan batin yang berasal  jauh dari dalam jiwa. Yang paling penting jika musik tradisional dimainkan saat proses menunggu sedang dilakukan apalagi dilakukan dimalam hari, para pengganggu biasanya tidak mau mendekat pada tanaman untuk memangsanya sebab memahami akan keberadaan pemiliknya yang sedang menjaga (Mitteppe), otomatis alat musik sangat menguntungkan. Logikanya, sulit untuk didapatkan sekarang ketika alat lain yang digunakan selama berada ditengah hutan apalagi jauh dari kota yang semua serba ada, listrik misalnya: ditengah hutan aliran listrik tidak mudah dijangkau  suasanapun menjadi tenang hanya bunyi binatang-binatang malam yang dapat dirasakan utamanya pendengaran. Siapapun yang sempat merasakan aktivitas itu sebagaimana yang dilakukan oleh Bapak Tombo Padzua serta beberapa pitteppe lainnya maka rasa jenuh dan bosan akan timbul dihatinya sehingga biasanya ada doa yang keluar dari dalam hati kecil para Pitteppe tentang sebuah harapan, dan keselamatan untuk menuju kearah yang lebih baik.




Mereka Para Pitteppe
                                                                       
Sekedar untuk diketahui, pandangan bahwa segala sesuatu mempunyai daya yang mempengaruhi keberhasilan suatu rencana senantiasa dilakukan oleh beberapa Pitteppe (penunggu kebun), meskipun hidupnya serba kekurangan namun semangat untuk tetap merajut cita-cita yang tidak pernah mengenal putus asa, merupakan ciri menandakan suatu proses atau perbuatan murni, sebab bekerja dan menjalani aktivitas itu tidak terlalu mengedepankan kekayaan, kemewahan ataupun kekuasaan. mereka adalah awal penggerak dari segala-galanya, sehingga sebetulnya  tidak bodoh, dan sesungguhnya manusia pintar, kadangkala dari tangan mereka semua bisa jenius, semua mengetahui bahkan menikmati, mereka mungkin tidak mengenal uang jika dituntut harus mengenal nomornya tetapi karena ada warna maka dapat membedakannya, mereka tidak mengenal pulpen dan kertas sebagai senjata dan peluru sehari-hari, tetapi mereka mengenal parang, cangkul, sabit dan soro (sodok) sebagai meriam dan dinamit untuk menyambung hidup, lingkungan pendidikan sangat jauh darinya, menyebabkan lebih memilih jalan yang hanya bermodalkan kekuatan (energi), beruntung dengan propesi itu, tidak harus berurusan dengan rumah sakit karena penyakit Jantung,  Kanker, Strok, dan sebagainya yang dianggap berbahaya hingga memaksa untuk mengeluarkan uang banyak…Tuhan Maha Adil…!!!   
            Musim penanaman atau musim panen telah tiba, saya melihat mereka yang mempunyai karakteristik derana, dikepalanya terdapat destar sebagai bagian dari kelengkapan  kostum sehari-hari, senantiasa dianggap diadem untuk selama-lamanya. Dipagi hari selepas menghangatkan tubuh dengan segelas kopi dan sebatang tembakau terpelintir, lalu berangkat ketempat yang dianggap dunia sesungguhnya serta beberapa kelengkapannya, ketika tiba, dia langsung melihat pepohonan yang rimbun dan beberapa  tanaman sebagian berdiri kokoh dan sebagiannya lagi memprihatinkan, dalam hatinya mengatakan “Namottonga ditee rie wongie” (Malam ini ..saya..bermalam), saya pun merasakan apa yang dirasakan oleh beliau bahwa ternyata kita memang harus bermalam. Dengan niat itu, …dihati saya… orang ini pasti terjadi evaluasi propaganda karena harus bekerja keras, menghadapi beberapa destruksi yang kejam. Siang itu kita menyiapkan segala perlengkapan seperti memasang perangkap dan melakukannya dengan  sangat teliti, kemudian orang itu mengambil jalappa (alat pengusir yang berbunyi tebuat dari bambu) lalu ditancapkan ditengah-tengah tanaman kemudian menyelipkan tali yang panjang tepat pada ujung atasnya, kemudian sisa tali itu diulur ke rumah-rumah istirahat dengan tujuan suatu saat akan ditarik ketika mendengarkan suara destruksi atau berteriak dengan keras..Siaeeee….. Sorenya barulah kami memasak  untuk keperluan sebentar malam…. Sebetulnya…banyak  yang ingin saya sampaikan tapi lain kali saja … karena ada yang lebih dahsyat dari dapur Pitteppe simak ya…..  
            Ketika menemui Ka’datira (A’bana Fatima), Saat mendengarkan pernyataannya entah sejak kapan dan dimulai dari mana peristiwa yang menimpa oleh sebagian masyarakat Pitteppe di Mandar, sehingga mendapatkan kejadian-kejadian yang mengherankan. Berbicara tentang dapur berarti membahas masalah kehidupan, banyak orang mendefenisikan bahwa kehidupan yang layak adalah hidup serba berkecukupan, namun baginya hidup yang layak itu adalah dapat memberi makan untuk keluarga, dirinya sendiri dan kebunnya subur tanpa pengganggu (Hama).
Meskipun yang mereka lakukan masih terbilang primitive, pengalaman Pitteppe memperjelas identitas hidup secara teliti baik itu bertingkah laku maupun didalam mengambil keputusan, proses Pitteppe terkadang menjadi syarat utama yang harus dipenuhi adalah menyiapkan Bassu-bassuli (tempat peristirahatan) dengan beberapa kelengkapannya seperti bantal, tikar, alat bertani dan dapur, aktifitas Pitteppe bukan hanya sekedar menunggu, melainkan berupaya untuk terhindar dari rasa jenuh, untuk itu terkadang diisi dengan mencoba memainkan alat musik tradisional, dan Morangngang (memburu)  atau menangkap hewan-hewan liar seperti burung-burung, babi, rusa, monyet dan sebagainya yang dianggap dapat merusak  tanamannya.
 Menjelang sore para petani memasak untuk terhindar dari rasa lapar dimalam hari, adanya kegiatan itu sangat riskan untuk berbuat hal yang dianggap masalah, karena dapat berdampak negatif secara langsung pada Tanaman ketika keliru dalam mengolah dapurnya hingga menimbulkan kekacauan. menarik perhatian ketika peristiwa itu mulai diungkap dikalangan masyarakat, sesungguhnya belum bisa dipertanggung jawabkan keilmiannya sebab hanya sebuah cerita, menurut beliau sudah sering mengalaminya, hingga berkembang dimasyarakat mandar dan disebut pamali  atau pelarangan ketika melakukan hal yang sama, jika kita menganalisa kejadian itu secara logika sangat riskan mengundang destruksi sebab, asap dan percikan api yang ada dalam ruang bara menjadi penanda bahwa disekitar asap itu sudah pasti ada makanan yang biasa dimangsa ….kata Babi…. Diketahui bahwa setiap lokasi dimana mereka melakukan Teppe (menuggu) rata-rata ditempat seperti layaknya hutan yang tidak memiliki alat-alat modern, itu berarti dapur mereka tidak menggunakan kompor melainkan dapur yang menggunakan kayu sebagai bahan pemanas, konon peristiwa yang menakutkan itu sering terjadi, disebabkan oleh kurangnya introfeksi, itulah sebabnya  sangat diperlukan ketelitian untuk pekerjaan yang satu ini, pada umumnya ibu rumah tangga  atau siapa saja yang sedang memasak dengan menggunakan kayu bakar, harus menyiapkan kayu sebanyak-banyaknya karena kayu itu akan cepat habis, setelah pupus, akan diganti dengan yang baru, proses penggantiannya  terkadang lebih banyak mengorek ruang bara untuk menghindari tersumbatnya aliran api, dalam hal ini penuturan beliau ketika banyak korekan, akan ada peristiwa yang terjadi pada malam hari, peristiwa itu tidak lain kalau bukan pengganggu (hama) memporak-porandakan tanaman akibatnya menimbulkan kerugian bahkan dapat mengancam kehidupan para Pitteppe.


















Semoga Tidak Hadir Sekedar Terima Kasih

Dahulu hanya ditampilkan untuk menghibur diri, hingga ditampilkan dalam pesta hiburan rakyat yang digelar didepan halaman rumah tanpa alas panggung, lama kemudian permainan ini ditampilkan di Istana-istana kerajaan, dan hanya memakai alas yang disebut latte (tikar). Setelah berganti zaman, pertunjukan dapat dipentaskan diatas Baruga (panggung) seperti yang banyak dijumpai dalam setiap pertunjukannya saat ini. Amat digemari oleh seluruh kalangan masyarakat Mandar, penampilannya banyak yang senang mulai dari anak-anak sampai orang tua. Namun beberapa tahun terakhir ini telah bergeser bahkan beberapa kali dalam sebulan, itupun hanya dikalangan orang tertentu saja. Kurangnya peminat dari kalangan generasi muda, disebabkan adanya pengaruh persaingan musik moderen dizaman sekarang,  Meskipun demikian, musik ini masih tetap ditampilkan dalam acara-acara tertentu seperti, perkawinan, khitanan dan syukuran, atau ketika ada even-even tertentu, seperti dalam rangka perayaan hari-hari besar kenegaraan dan festival, tak lain untuk menjaga kelestarian musik daerah yang selama ini keberadaannya mulai terabaikan. Namun kenyataannya Even-even itu tetap senantiasa mendapatkan sambutan yang baik dari penonton. semua itu tidak diketahui secara pasti apakah penyambutannya hanya sekedar melepas rindu atau dihadirkan sebagai rekonstruksi budaya atau memang sudah menjadi paket hiburan sesaat atau sebagai batu loncatan…apa..saja… Pemunculan arketipe-arketipe mepengaruhi derasnya pertumbuhan musik mandar dengan hadirnya sebagai terima kasih.  pernah benda ini dihadirkan kesuatu tempat serba steril, boleh dikata bahwa orang-orang tertentu saja yang boleh menyaksikan tata ruang itu, hampir semua tertawa, mungkin karena penampilannya jorok, dipenuhi dengan aksesori ala tradisi, ala Pitteppe dan sedikit tertinggal (kampungan), lebih parah jika benar-benar datang hanya sekedar terima kasih, bukan berarti ketika mereka selesai memainkan dan dimainkan lalu disuguhi sesuatu yang menggiurkan sesaat, bukan berarti ketika selesai memainkan dan dimainkan lalu disuguhi janji yang bermacam-macam, dan bukan berarti ketika selesai memainkan dan dimainkan lalu berterima kasih. Mereka perlu dikenang dan dibanggakan tetapi bukan sekedar BLT, mereka harus merasakan realokasi yang sebenarnya.
Mungkin tidak jauh berbeda pendapat saya dengan anda jika menempatkan mereka dalam keadaan pengakuan yang akan selalu dikenang, bersyukur karena salah satu dari mereka sudah mendapatkan sesuai yang dimaksud yakni menerima penghargaan dari pemerintah tingkat tinggi, Ibu Cammana penerima Satya Lencana dari Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudoyono 2010 (selamat Amma), hal ini memang sangat riskan untuk dikhawatirkan jangan sampai, jangan sampai hanya sekedar menutupi kekurangan, jangan sampai menjadi rekonstuksi budaya, jangan sampai hanya menjadi langkah untuk membuat jaringan reaktualisasi yang tidak  menghasilkan apa-apa, dan jangan sampai terjadi onani pada orang-orang yang mengerti tentang kebudayaan. Jika demikian, maka tidak mulai kurang diminati, melainkan tidak diminati lagi. menguntungkan jika benda ini kembali ketempat semula yakni tetap menjadi sahabat seorang Pitteppe.
 Meskipun akseptabilitas benda ini masih diragukan kemanpuannya, dan andai benda ini adalah manusia diharapkan untuk tidak menganggap eksistensinya sebagai ajnabi, harus meminjam karakteristik adesif atau melebur langsung jika mampu demi menghindari absonan selaku orang Mandar, kehadiran serta cara menyentuh tidak menggunakan mekanisme absorbir kepentingan, melainkan altruis yang lebih mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri. Diharapkan kepada semua yang sempat merasakan manisnya perjalanan tradisinologi, agar tetap mencintai dan membudidayakan sebagai wujud kebanggaan atau melakukan kembali reedukasi tentang bagaimana cara mengaktualisasikan baik itu secara kuantitatif atau kualitatif, bukan untuk menjadi abar yang dapat menghambat pertumbuhan aksiomatis referensi, sebab jika masih bersikap seperti itu, maka perkembangan budaya mandar akan semakin terajun.



Akhirnya penulis dipaksa untuk mengatakan dan menyaut sekeras-kerasnya meminta dengan segala kerendahan hati, untuk mempertajam penganotasian anda, disebabkan oleh kesadaran bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, serta sebagai manusia yang selalu ingin membangun, mengajak kembali merenung untuk sesuatu yang akan dibangun.  Sebelumnya Terima Kasih…. Wassalam……………





Mengenal Calong    
            Terlebih dahulu penulis akan membahas mengenai muasal instrumen calong. Diperkirakan sebelum zaman kerajaan Balanipa yakni I manyambungi (Raja Mandar pertama) atau pada Zaman Tomakaka jauh sebelumnya  benda ini sudah ada. Tombo, Ihing, 2003). sedangakan kata Tomakaka pada abad ke 16 dalam Buku (suradi Yasil, Ensiklopedi Sejarah, tokoh, dan kebudayaan Mandar, 2004) mengatakan ”orang yang dituakan dan menjadi peminpin kelompok dalam masyarakat  dahulu sebelum periode sebelum pemerintahan pappuangan “Hadat”. Dari kata To “orang Makaka “lebih kakak atau lebih tua” adalagi persi lain yakni Tomaka-maka “orang yang sanggup memimpin karena dipenuhinya jumlah syarat tertentu” (Suradi Yasil, 2004 : 348). Menurut Bapak Tombo Padzua, salah satu pelaku alat musik tradisional calong mengatakan, bahwa pada saat petani mitteppe (menunggu kebun) atau Ma’dongi (mengusir burung pipit), saat itu juga seorang petani merasa bosan dan kesepian, mengakibatkan para petani mengambil lattang (balai-balai). Balai-balai ini digunakan untuk sebagai tempat istirahat sambil mengusir burung-burung atau hama, kemudian dipotong-potong kecil, lalu dijadikan sebagai alat bunyi-bunyian. (Tombo. Kampung Ihing, tanggal 21 Agustus 2003). Suradi menjelaskan  bahwa alat ini dimainkan sebagai alat pengisi waktu senggang petani waktu menunggui kebun (Ibid)
            Hampir senada dengan Bapak Abdullah menuturkan  bahwa sebelumnya bilahan-bilahan tersebut diletakkan pada pangkuan (Paha) untuk ditabuh supaya mendapatkan bunyi, bilahannyapun tidak seperti jumlah yang sekarang yakni 4 bilahan melainkan sesuai yang diinginkan, tetapi hal ini tidak bertahan karena pangkuan terasa sakit bila dimainkan. (Abdullah 1 November 2007). Dipertegas oleh Bapak Ka Dathira, bahwa jenis bilahan bambu tersebut, pada umumnya dalam masyarakat Mandar juga digunakan sebagai bahan untuk membuat bale-bale atau tempat istirahat.
Dalam kurung waktu yang panjang, bilahan bambu itu kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat instrument musik calong. Guna mendapatkan sumber bunyi yang merdu, bilahan tersebut diberi penampung bunyi (ruang resonansi) dengan beberapa kali melakukan percobaan pada tempurung buah bilah, jika melihat sisi buah bilah, ruang resonansinya tidak mencukupi untuk mewujudkan banyak bilahan sehingga mungkin dari dasar itu instrument ini hanya dapat ditemukan 4 bilahan saja. Pemaparan Ridwan Alimuddin ketika diskusi (Calo-calo, 2005) , namun tidak bertahan lebih lama karena tempurung buah bilah mudah pecah dan suara yang ditimbulkan kurang merdu. Suradi, (2004) dalam bukunya Ensiklopedi Budaya Mandar mendefenisikan calong alat musik tradisional, dari tempurung kelapa dan bilah bambu. Batok kelapa yang telah dipilih untuk dibuat calong dibelah dua secara orisontal dengan menggunakan gergaji. (Suradi yasil, 2004: 45). Guna mendapatkan bunyi yang lebih merdu, tempurung buah bilah diganti dengan tempurung kelapa. Tempurung buah bilah dan Buah kelapa diambil karena masyarakat menganggap bahwa buah tersebut masing–masing mempunyai ruang yang dapat menampung dan mengeluarakan bunyi saat melakukan penabuhan. Setelah buah bila diganti ternyata bunyi buah kelapa yang dihasilkan lebih merdu dan tahan lama. Alat inilah yang kemudian berkembang menjadi instrument calong dalam masyarakat Mandar sampai sekarang. (Abdullah, 2007). Namun demikian belum diketahui siapa orang pertama yang membuatnya, dan kapan pembuatannya itu juga tidak fakta. Jelasnya bahwa alat ini diciptakan oleh orang Mandar jauh sebelum masuknya Islam di Mandar. Setelah memasuki penjajahan Belanda yang ke dua saat itu, permainan calong mulai populer. (Tombo, 2004)
Mengenal Calong    
            Terlebih dahulu penulis akan membahas mengenai muasal instrumen calong. Diperkirakan sebelum zaman kerajaan Balanipa yakni I manyambungi (Raja Mandar pertama) atau pada Zaman Tomakaka jauh sebelumnya  benda ini sudah ada. Tombo, Ihing, 2003). sedangakan kata Tomakaka pada abad ke 16 dalam Buku (suradi Yasil, Ensiklopedi Sejarah, tokoh, dan kebudayaan Mandar, 2004) mengatakan ”orang yang dituakan dan menjadi peminpin kelompok dalam masyarakat  dahulu sebelum periode sebelum pemerintahan pappuangan “Hadat”. Dari kata To “orang Makaka “lebih kakak atau lebih tua” adalagi persi lain yakni Tomaka-maka “orang yang sanggup memimpin karena dipenuhinya jumlah syarat tertentu” (Suradi Yasil, 2004 : 348). Menurut Bapak Tombo Padzua, salah satu pelaku alat musik tradisional calong mengatakan, bahwa pada saat petani mitteppe (menunggu kebun) atau Ma’dongi (mengusir burung pipit), saat itu juga seorang petani merasa bosan dan kesepian, mengakibatkan para petani mengambil lattang (balai-balai). Balai-balai ini digunakan untuk sebagai tempat istirahat sambil mengusir burung-burung atau hama, kemudian dipotong-potong kecil, lalu dijadikan sebagai alat bunyi-bunyian. (Tombo. Kampung Ihing, tanggal 21 Agustus 2003). Suradi menjelaskan  bahwa alat ini dimainkan sebagai alat pengisi waktu senggang petani waktu menunggui kebun (Ibid)
            Hampir senada dengan Bapak Abdullah menuturkan  bahwa sebelumnya bilahan-bilahan tersebut diletakkan pada pangkuan (Paha) untuk ditabuh supaya mendapatkan bunyi, bilahannyapun tidak seperti jumlah yang sekarang yakni 4 bilahan melainkan sesuai yang diinginkan, tetapi hal ini tidak bertahan karena pangkuan terasa sakit bila dimainkan. (Abdullah 1 November 2007). Dipertegas oleh Bapak Ka Dathira, bahwa jenis bilahan bambu tersebut, pada umumnya dalam masyarakat Mandar juga digunakan sebagai bahan untuk membuat bale-bale atau tempat istirahat.
Dalam kurung waktu yang panjang, bilahan bambu itu kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat instrument musik calong. Guna mendapatkan sumber bunyi yang merdu, bilahan tersebut diberi penampung bunyi (ruang resonansi) dengan beberapa kali melakukan percobaan pada tempurung buah bilah, jika melihat sisi buah bilah, ruang resonansinya tidak mencukupi untuk mewujudkan banyak bilahan sehingga mungkin dari dasar itu instrument ini hanya dapat ditemukan 4 bilahan saja. Pemaparan Ridwan Alimuddin ketika diskusi (Calo-calo, 2005) , namun tidak bertahan lebih lama karena tempurung buah bilah mudah pecah dan suara yang ditimbulkan kurang merdu. Suradi, (2004) dalam bukunya Ensiklopedi Budaya Mandar mendefenisikan calong alat musik tradisional, dari tempurung kelapa dan bilah bambu. Batok kelapa yang telah dipilih untuk dibuat calong dibelah dua secara orisontal dengan menggunakan gergaji. (Suradi yasil, 2004: 45). Guna mendapatkan bunyi yang lebih merdu, tempurung buah bilah diganti dengan tempurung kelapa. Tempurung buah bilah dan Buah kelapa diambil karena masyarakat menganggap bahwa buah tersebut masing–masing mempunyai ruang yang dapat menampung dan mengeluarakan bunyi saat melakukan penabuhan. Setelah buah bila diganti ternyata bunyi buah kelapa yang dihasilkan lebih merdu dan tahan lama. Alat inilah yang kemudian berkembang menjadi instrument calong dalam masyarakat Mandar sampai sekarang. (Abdullah, 2007). Namun demikian belum diketahui siapa orang pertama yang membuatnya, dan kapan pembuatannya itu juga tidak fakta. Jelasnya bahwa alat ini diciptakan oleh orang Mandar jauh sebelum masuknya Islam di Mandar. Setelah memasuki penjajahan Belanda yang ke dua saat itu, permainan calong mulai populer. (Tombo, 2004)
Mengenal Calong    
            Terlebih dahulu penulis akan membahas mengenai muasal instrumen calong. Diperkirakan sebelum zaman kerajaan Balanipa yakni I manyambungi (Raja Mandar pertama) atau pada Zaman Tomakaka jauh sebelumnya  benda ini sudah ada. Tombo, Ihing, 2003). sedangakan kata Tomakaka pada abad ke 16 dalam Buku (suradi Yasil, Ensiklopedi Sejarah, tokoh, dan kebudayaan Mandar, 2004) mengatakan ”orang yang dituakan dan menjadi peminpin kelompok dalam masyarakat  dahulu sebelum periode sebelum pemerintahan pappuangan “Hadat”. Dari kata To “orang Makaka “lebih kakak atau lebih tua” adalagi persi lain yakni Tomaka-maka “orang yang sanggup memimpin karena dipenuhinya jumlah syarat tertentu” (Suradi Yasil, 2004 : 348). Menurut Bapak Tombo Padzua, salah satu pelaku alat musik tradisional calong mengatakan, bahwa pada saat petani mitteppe (menunggu kebun) atau Ma’dongi (mengusir burung pipit), saat itu juga seorang petani merasa bosan dan kesepian, mengakibatkan para petani mengambil lattang (balai-balai). Balai-balai ini digunakan untuk sebagai tempat istirahat sambil mengusir burung-burung atau hama, kemudian dipotong-potong kecil, lalu dijadikan sebagai alat bunyi-bunyian. (Tombo. Kampung Ihing, tanggal 21 Agustus 2003). Suradi menjelaskan  bahwa alat ini dimainkan sebagai alat pengisi waktu senggang petani waktu menunggui kebun (Ibid)
            Hampir senada dengan Bapak Abdullah menuturkan  bahwa sebelumnya bilahan-bilahan tersebut diletakkan pada pangkuan (Paha) untuk ditabuh supaya mendapatkan bunyi, bilahannyapun tidak seperti jumlah yang sekarang yakni 4 bilahan melainkan sesuai yang diinginkan, tetapi hal ini tidak bertahan karena pangkuan terasa sakit bila dimainkan. (Abdullah 1 November 2007). Dipertegas oleh Bapak Ka Dathira, bahwa jenis bilahan bambu tersebut, pada umumnya dalam masyarakat Mandar juga digunakan sebagai bahan untuk membuat bale-bale atau tempat istirahat.
Dalam kurung waktu yang panjang, bilahan bambu itu kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat instrument musik calong. Guna mendapatkan sumber bunyi yang merdu, bilahan tersebut diberi penampung bunyi (ruang resonansi) dengan beberapa kali melakukan percobaan pada tempurung buah bilah, jika melihat sisi buah bilah, ruang resonansinya tidak mencukupi untuk mewujudkan banyak bilahan sehingga mungkin dari dasar itu instrument ini hanya dapat ditemukan 4 bilahan saja. Pemaparan Ridwan Alimuddin ketika diskusi (Calo-calo, 2005) , namun tidak bertahan lebih lama karena tempurung buah bilah mudah pecah dan suara yang ditimbulkan kurang merdu. Suradi, (2004) dalam bukunya Ensiklopedi Budaya Mandar mendefenisikan calong alat musik tradisional, dari tempurung kelapa dan bilah bambu. Batok kelapa yang telah dipilih untuk dibuat calong dibelah dua secara orisontal dengan menggunakan gergaji. (Suradi yasil, 2004: 45). Guna mendapatkan bunyi yang lebih merdu, tempurung buah bilah diganti dengan tempurung kelapa. Tempurung buah bilah dan Buah kelapa diambil karena masyarakat menganggap bahwa buah tersebut masing–masing mempunyai ruang yang dapat menampung dan mengeluarakan bunyi saat melakukan penabuhan. Setelah buah bila diganti ternyata bunyi buah kelapa yang dihasilkan lebih merdu dan tahan lama. Alat inilah yang kemudian berkembang menjadi instrument calong dalam masyarakat Mandar sampai sekarang. (Abdullah, 2007). Namun demikian belum diketahui siapa orang pertama yang membuatnya, dan kapan pembuatannya itu juga tidak fakta. Jelasnya bahwa alat ini diciptakan oleh orang Mandar jauh sebelum masuknya Islam di Mandar. Setelah memasuki penjajahan Belanda yang ke dua saat itu, permainan calong mulai populer. (Tombo, 2004)
Penyajian

            Bapak Abdullah penyajian calong pada awalnya hanya dimainkan di kebun saat sedang menunggu diwaktu senggang, setelah itu dalam bentuk pertunjukan. Pertunjukan calong yang dimaksud adalah permainan calong dapat disaksikan oleh banyak orang, pada mulanya dipentaskan di atas rumah (Rumah Panggung), yakni sebagai penambah suasana gembira dalam acara pernikahan atau acara lainnya, tatapi sebagian penonton merasa tidak puas jika di tempat itu, akibatnya pertunjukan calong dipindahkan ke halaman rumah tentunya disiapkan pencahayaan dan alas seperti Latte (tikar), lalu berubah yakni dibuatkan panggung. Dalam pengamatan penulis penyajian calong tidak hanya dimainkan dan dipertunjukkan sebagai hiburan saja, akan tetapi pertunjukannya sudah ditemukan melalui pementasan atau even-even tertentu seperti festival Musik Puisi Yogyakarta 2003 oleh teman-teman teater flamboyant, festival tradisi, pengirian tari dan teater. Dalam perkembangan selanjutnya dipergunakan sebagai musik pengiring tarian daerah Mandar. Dimainkan oleh laki-laki atau wanita yang  sudah dewasa, sekarang ini calong jarang dibuat. (ibid)
                                                                                    
Gambar ini menunjukkan, bahwa pada tahun 2006 ditemukan pendidikan calong untuk diarahkan pada pertunjukan yang hampir secara klosal oleh penulis dan kawan-kawan, itupun kepada anak-anak SD (Sekolah Dasar), dalam pendidikan, penulis menemukan motif tabuhan atau melodi sekaligus menjadi cara termudah dalam mempelajari dan memainkan alat musik calong secara teratur, serta menentukan metode didalam memegang stik yang benar dengan cara mengepal ujung stik, ibu jari berada diatas stik dan empat jari-jari seperti jari telunjuk, tengah, manis serta kelingking, posinya berada dibagian bawah. Melihat bagian stik mutlak harus mempunyai tulang sebagai ujung yang dianggap paling kuat untuk benturan kepada bilahan, kemudian kedua stik masing-masing memiliki bagian diantaranya: untuk stik kanan (R) wilayah tabuhnya yaitu bilahan 1 dan 2 lalu stik kiri (L) wilayah tabuhnya bilahan 3 dan 4, terkecuali jika mengalami penabuhan secara bersaman atau melakukan variasi penabuhan, maka suatu saat stik kanan akan menyentuh bilahan 3 dan 4, sebaliknya stik kiri sangat jarang  menyentuh bilahan 1 dan 2. Motif  Tabuhan ini dinamakan Tuttu Mesa-mesa (tabuhan satu satu). Adapun motif tabuhan atau melodi calong dapat dilihat dalam bentuk Partitur.


Berdasarkan penuturan Abdullah, bahwa permainan calong yang dimainkan di kebun maupun dalam pertunjukannya tidak pernah dimainkan dengan menggunakan syair. (Abdullah, lambe, 2007). sama halnya dengan Tombo Padzua pada saat ditemui ulang, beliau juga mengatakan demikian (Tombo, Balanipa, 2007). (Gbr 6. Makassar, Photo Ifing, 29 Juli 2007)  Jadi dalam hal ini secara tradisional syair dalam permainan calong belum ada, sehingga instrument ini masih ditemukan dalam bentuk iringan saja Berdasarkan gambar di atas, hari minggu 29 juli 2007 Sahabuddin Mahganna salah satu pekerja seni tradisi masyarakat Mandar, jebolan dari  perguruan tinggi Universitas Negeri Makassar dan sekaligus sebagai penulis, lewat pertunjukan karya musik “Calong Meretas Duka” telah menyusun sebuah motif tabuahan permainan calong dengan menggunakan syair tentunya mengambil dasar terhadap sejarah munculnya instrument calong setelah melihat dan merasakan Ekspresi penunggu kebun seakan berdoa meminta agar supaya tanamannya selamat dari cengkraman pemangsa dan terhindar dari bencana Alam. Adapun ritme dan syair calong tersebut dengan motif sebagai berikut…


Alai Mai Macoana…..Alai Mai
Alai Mating Araena….Alai Mating
Dao peaqtalle
Ditimmo dioroammu
Paqmaiqu Paqmaiqmu
Timmbanggia todiq

Buruk aKu Serahkan
Pintaku Suci
            Jangan muncul dihadapanku
            Tetaplah ditempatmu
            Perasaanku, perasaamu
            Adalah satu
            Timbanglah Diriku
           
           






















Penemuan Nama Calong

DSC04667Pada mulanya proses ini adalah tuntunan dari seorang guru yang memberikan metode tentang bagaimana keluar dari rekognisi keputusasaan, di mana waktu itu merupakan masa saya dengan peristiwa-peristiwa yang hampir sulit untuk dilewati serta defaitisme berkepanjangan, lalu sering kali dihantui dengan perasaan-perasaan deideologisasi dan depersonalisasi. Keadaan tertekan kemudian semangat menurun ditandai dengan kurangnya pembuktian-pembuktian siklus sejarah peradaban ini, padahal keterangan-keterangan itu semestinya sudah diketahui dari dulu lewat beberapa referensi secara berangsur, hingga tidak perlu bersusah payah untuk melakukan pencarian-pencarian yang sifatnya kurang defenitif. Namun kenyataannya, paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan baik yang menyangkut jasmani maupun rohani merupakan konsekuensi dari tingkah atau peristiwa sebelumnya dan ada diluar kemauan, menuntut agar secepatnya menemukan solusi ketika diperhadapkan oleh problematika. Sedangkan, menurut tuntunan salasatu bagian yang pantas untuk mendampingi pernyataan atau determinannya hanyalah ketekunan  pada  suatu jalan demi mendapatkan berita  yang menggembirakan.
            Meskipun kata calong jauh sebelumnya hadir ditengah-tengah masyarakat sebagai pewarna kehidupan dan amat diketahui bahwa sudah dipastikan ada yang memberi nama hingga melekat sampai sekarang, namun identitasnya perlu dikaji ulang untuk menciptakan ruang bagi kerja kreatif berkesenian sebagai jalan untuk menghindari sikap mengandai-andai. Penamaan calong bagi penulis adalah perjalanan panjang dan melelahkan karena harus melewati berbagai sember yang juga tidak tahu menahu dimana arah pendaratan yang pasti,  tak dapat dipungkiri bahwa keikutsertaan dan upaya dalam menjelaskan eksistensi calong merupakan keinginan yang juga dapat dikatakan sebuah nilai khusus kebudayaan Mandar, sebab ketika itu terjadi, tentu pembuktian-pembuktian dapat dengan muda dijawab bahwasanya mandar ternyata memang ada, namun pemberian sebuah nama dan  untuk menentukannya kadangkala harus menggunakan metodologi de facto atau meneropong sesuatu sesuai dengan kenyataan yang nantinya akan menyumbangkan isu untuk kepentingan bersama.
Ditahun 1998 calong pernah dipertanyakan kepada salah seorang yang mengahadirkan benda ini diselah-selah acara kelakar budaya, Ka datira namanya, tidak berpanjang lebar penguraian beliau hanya cekak tanpa ragu dan mengandai-andai mengucapkan “Tappa calong tomo tia  disangangangi”  (baca: Tappa calottomotia disangangangi), “penamaannya langsung menggunakan kata calong” dan bukan cuma itu saja, seperti  yang kita lihat sekarang bilahannya berjumlah 4 (Empat) dan keempat bilahan itu adalah simbol “Appeq Banua Kayyang”(Empat Benua Besar) yakni Mosso, Napo,  Samasundu, dan Todang-todang. Dari pemaparanya, itu berarti beliau tidak tahu siapa yang memunculkan kata tersebut, (Tinggas-tinggas rumah Mat Panggung Kadatira, 1998.), Hampir sama dengan Tombo Padzua ketika ditemui, beliau menguraikan  dan juga mengucapkan ketidaktahuannya tetapi beliau hanya dapat menguraikan bahwa benda ini adalah benda sebagai simbol kebangsaan orang Balanipa, sebab melihat dari bentuk dan bagian instrumennya yakni pada bilahan dan ruang resonansi, penuturannya kembali bahwa tidak diketahui siapa orang pertama memberi nama itu, namun “Digallari Tillong-tillong tangnga wongi” (baca: Tillotillottangngawongi”) “Suara mendayu-dayu dimalam hari”. Ketika dipertanyakan apa tidak ada sangkut pautnya dengan suku jawa?” sebab ada alat musik di jawa yang sama-sama menggunakan Idio  atau dari bambu sebagai sumber bunyi..?, yakni calung : “alat musik dari jawa seperti gambang” beliau menjawab “iqda Dziang” (baca: I’da dziang) atau “tidak ada” karena sebelum zaman kerajaan Balanipa yakni I manyambungi (Raja Mandar pertama) atau pada zaman Tomakaka, jauh sebelumnya  benda ini sudah ada….katanya….(Tombo, Ihing, 2003). sedangakan kata Tomakaka pada abad ke 16 dalam Buku (suradi Yasil, Ensiklopedi Sejarah, tokoh, dan kebudayaan Mandar, 2004) mengatakan ”orang yang dituakan dan menjadi pemimpin kelompok dalam masyarakat  dahulu sebelum periode pemerintahan Pappuangan “Hadat”. Dari kata To “orang Makaka “lebih kakak atau lebih tua” adalagi persi lain yakni Tomaka-maka “orang yang sanggup memimpin karena dipenuhinya jumlah syarat tertentu” (Suradi Yasil, 2004 : 348). Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Sedangkan, Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dari Tanah Sunda, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog. Pada permainan Angklung terdapat jenis angklung Badeng, kehadirannya sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. (Kurnia, Ganjar. 2003.)  
Kemudian Sakai menguraikan, juga tidak dapat memberikan keterangan secara medetail karena, menurut beliau benda ini hadir bertepatan dengan adanya perlakuan petani mandar seperti Mitteppe (menunggu kebun) lalu digunakan sebagi pemuas batin dikala senggang (Sakai, Mosso, 2006), Selanjutnya menemui Bapak Abdullah atau biasa disebut Kamaq Salding, menguraikan bahwa “saya mengungkapkan sesuai dengan penguraian ayahku yang mengatakan “Die kalli’na calonge dituttu dioi tuu mendolo diupa atau “dulunya bilahan calong ini penabuhannya dilakukan pada pangkuan atau paha” namun tidak bertahan karena  paha  terasa sakit jika dimainkan. (Abdullah Lambe, 1 November 2007), menyimak dari pembicaraan ini hampir sama dengan penguraian oleh Bapak Nurdin Hamma, bahwa pernah suatu ketika masyarakat mandar memiliki permainan bunyi-bunyian disebut gandi-ganding yakni menggunakan bilah-bilah kayu lalu disusun dibagian paha kemudian menabuhnya, namun hingga  sekarang belum ada yang mampu menguraikan secara terperinci kapan dan tahun berapa pelaksanaanya.  (Nurdin Hamma, 2007). Penuturan Abdullah dan Bapak Nurdin Hamma mungkin ada benarnya  ketika dihubungkan dengan hasil diskusi penulis dengan Ridwan Alimuddin bilahan calong hanya dapat menjangkau 4 nada, sebab ruang resonansi tidak mencukupi untuk penambahan beberapa bilahan. (Calo-calo, 2005)
  Begitupun, H. Abdul Muis Mandra, juga tak dapat menjelaskan secara Valid, Suradi Yasil, dalam bukunya “Ensiklopedi Tokoh dan sejarah Budaya Mandar” Hj. Munasiah Najamuddin “Kesenian tradisional Sulawesi Selatan” dan H. Ahmad Asdy, “Mandar dalam kenangan” sama-sama memberikan penguraian yang sifatnya informative, kemudian H. Murad, 2009 menguraikan tentang kehadiran calong hanya berada ditingkatan fungsi sebagai komunikasi para Pitteppe.
Sedangakan, Yali Yasseng, 2009, serta A.M. Sarbin Sjam 2010, mereka semuanya adalah sebagian besar Budayawan Mandar. Yang hanya mampu menguraikan bahwa kehadiran calong sebagai pelengkap pada suasana mitteppe (menunggu kebun) baik itu siang maupun dimalam hari. Mengamati permainan calong secara berkelompok seperti yang dilakukan oleh salasatu grup binaan Bapak Tombo Padzua, rampak calong teman-teman Teater Flamboyan pada even Festival Musik Puisi 2003 Yogyakarta, ansambel calong diselah-selah pertunjukan Assitalliang Oleh kawan-kawan Ladam Makassar 2005, permainan Klosal Calong yang dimainkan oleh beberapa anak-anak SD 012 Karama dibawa pimpinan Bapak Suardi K, yang dilatih langsung penulis, Dalif dan Bapak Kaimuddin 2006, serta pertunjukan musik Calong Meretas Duka oleh Sahabuddin Mahganna, sama-sama telah melahirkan tiruan bunyi khas yakni “Caqterkadang juga “Tjlak”atau  Clak  dari kedua stik ketika dibenturkan, jika dihubungkan dengan konsonan huruf dulu maka akan ditemukan penulisan nama Tj = C, seperti contoh ATJO = ACO, selain itu ada satu bahasa lokal Mandar ketika memperbuat sesuatu yakni Naracaqi atau Nacacaq dan jika melarangnya maka juga akan mengatakan Da muracaq Begai. Ketiga kata itu merupakan bagian dari kata dasar Racaq (mempercepat gerakan yang dilakukan), Dapat juga dikatakan maciccaq,(sangat cepat)  muciccaqi (engkau mempercepat). Kendatipun, didalam bahasa Indonesia terdapat sebuah kata racak dan racik namun berbeda pengertiannya.
Setelah melakukan penelitian yang cukup panjang dan mengidentifikasi setiap uraian-uraian para nara sumber, telah ditemukan jalan untuk memberikan sebuah jawaban, sebagai pertimbangan, penulis menjelaskan jawaban itu didepan sala satu budayawan yang nantinya akan sebagai bahan diskusi. Diduga Alat musik calong adalah merupakan hasil pengembangan dari permainan masyarakat Mandar disebut Gandi-ganding yang diperkirakan lahir jauh sebelumnya Abad ke15, sedangkan, pembuatan alat musik baik itu Calong maupun Calung diperkirakan terlaksana sejak abad 15 dan dapat dipastikan tidak ada peniruan satu sama lain sebab masyarakat Mandar dan Sunda, sama-sama memiliki pohon khas seperti bambu. Penuturan Rai Sehetapi didalam materinya Wawasan Nusantara mengatakan  bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai Pohon Bambu dan Pohon Kelapa sebagai makna  dari lahirnya kata Nusantara. (Rai Sehetapi, Rujab PolMan, 2008).  Terlepas dari permainan gandi-ganding sebuah permainan musik hadir tidak menggunakan bahan lain untuk resonansi melainkan  hanya mengguanakan dari salasatu anggota tubuh, lalu calong itu sendiri pernah deberi sebutan-sebutan kecil sebagai penanda sebuah identitas, kemudian kehadirannya mengimbangi rasa jenuh dikala senggang dan mempunyai fungsi komunikasi langsung meski tidak melihat lawan bicara, serta memperindah ritmis pertunjukan dengan adanya penentu aksen ketika stik dibenturkan, secara eksotik penabuhan cepat merupakan karakteristik permainan calong, bahwasanya  alat musik ini dapat disimpulkan, secara Etimologi kata calong berasal dari daerah Mandar yakni Caq dan Long, dikatakan bahwa “Ca” berasal dari bunyi “Caq” atau Tjlak saat kedua stick dibenturkan secara bersamaan, atau  mengambil dari kata Racaq atau Maciccaq, (suatu perbuatan seolah mempercepat gerakan yang dilakukan). Sedangkan kata Long diambil dari kata Tillong-tillong (suara mendayu-dayu) atau unsur bunyi alat musik yang menghantar getaran tabuh inti instrumen itu sendiri, sedangkan calong secara terminologi adalah sebuah benda tradisional mandar yang termasuk jenis musik idiopon berfungsi untuk menciptakan suasana riang serta memberi isyarat terhadap sesama, baik itu di kebun maupun di lingkungan masyarakat.

Mengenal Tambolang
            Tambolang adalah salah satu instrumen yang termasuk jenis musik Aeropon, (Banoe 1948: 13,) dalam buku solihing mengatakan Aeropon adalah uadara atau satuan udara yang berada dalam instrument itu sendiri sebagai penyebab bunyi (Solihing, Ibid : 93) Tambolang adalah jenis alat musik tiup yang sumber bunyinya dihasilkan oleh udara terbuat dari krang, sekarang biasanya alat musik ini dimainkan sebagai penambah epeck suasana dalam cerita musik, awal mulanya disebuah pinggir laut karena sebelum dijadikan sebagai alat musik, keberadaanya hanya sebuah krang yang dapat dimakan isinya setelah dimasak, krang sama jenisnya dengan siput. Tetapi penampilan tambolang lain, sebab bodinya berwarna putih dan agak besar, alat ini juga sudah tidak diketahui kenapa awalnya dikatakan tambolang, narasumber tidak dapat menjelaskan tentang penamaan itu lebih jelasnya bahwa masyarakat Balanipa menyebutnya dengan Tambolang.
            Jika mendengarkan suara/bunyi yang dihasilkan maka akan mendengarkan persis mendengarkan bunyi trompet, kehadirannya sebagai sala satu bagian alat musik tradisional Mandar diriwayatkan oleh beberapa versi, sampai saat ini sudah tidak diketahui versi yang sebenarnya, akan tetapi kedua versi ini ada persamaan ada pula perbedaan, versi pertama mengatakan bahwa konon alat musik tambolang digunakan oleh para rombongan I Manyambungi raja pertama di Mandar atau yang biasa disebut Todilaling saat itu raja Mandar diboyong dari Gowa dengan menggunakan Perahu, setelah Raja tiba di pelabuhan Pambesoang sekarang dinamakan pambusuang, diatas perahu sala seorang awak meniup krang yang konon katanya itulah yang disebut tambolang, sebagai pananda atau informasi bahwa perahu sudah ingin berlabuh (Sakkai Mosso, 24 Agustus 2006) berbeda dengan Kadara mengatakan bahwa beberapa perahu nelayan dipesisir pantai menggunakan alat ini dengan tujuan dan fungsi yang sama yakni kononn setelah para nelayan ingin merapat kepantai yang jaraknya kira-kira 100 meter  dari tengah laut, para nelayan rame-rame meniup Tambolang sebagai rasa haru dan gembira karena kembali kekampung halaman dengan selamat setetelah berbulan-bulan ditengah laut untuk menangkap ikan, (Ka’dara Parappe 24 agustus 2003).
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa awal mula alat musik Tambolang berawal dari sebuah sejarah yang mengatakan sebagai penanda/informasi terhadap masyarakat bahwa perahu segera akan berlabuh, atau sekarang disebut Klakson.

Sahabuddin_Foto Iwan (1)bentuk Penyajian  
            Sekarang ini penyajian tambolang dianggap tidak mengalami perkembangan yang sifatnya signifikan, sebab di wilayah Mandar pada umumnya sudah tidak menfungsikan sebagaimana penyajian yang dilakukan oleh pemain diera itu, penjelasan penyajian tambolang lewat penuturan Kadara mengatakan bahwa terkadang konon sehabis Maghrib para nelayan sedang istirahat dipenangkapan ikan, dalam pertunjukannya terlaksana oleh beberapa pemain, baik itu secara Solo (sendirian), Duo (berduaan), Trio (bertiga), maupun Kuartet (berempat) dan biasanya dimainkan melebihi dari rangkain tersebut. Pertunjukan biasanya dimulai  dari seseorang yang sengaja memainkan tambolang dengan tujuan memancing naluri para penggemar tambolang untuk melakukan hal yang sama, tentunya berdasar pada aturan permainan atau pertunjukan, dalam pertunjukan tambolang, terkadang ditemukan secara konteks atau lomba, sebab ditengah-tengah pertunjukan ada pemenang ada pula yang kalah, pemenang ditandai berdasarkan lamanya meniup dengan istilah “Maoreang” (peniupan/pernafasan panjang) dan Ma’ololio. (memainkan melodi)



Mengenal Gongga Lima
DSC01768
            Gongga lima adalah sebuah alat atau benda yang didalamnya terdapat dua kata, dan ketika dipisahkan mempunyai pengertian yang berbeda yakni Gongga dan lima gongga diartikan sebagai alat itu sendiri sedangkan lima dalam bahasa Mandar adalah Tangan, jika dilihat dari pambagiannya, sangat memperjelas identitas serta eksistensinya yang menjelaskan bahwa  ke duanya membutuhkan satu sama lain.  Gongga lima adalah sebuah alat musik yang termasuk klasifikasi idiopon, idiopon dalam buku Solihing mengatakan sumber bunyinya berasal dari alat itu sendiri (Solihing ibid Hal: 99) ada persamaan dari pemaparan Yayat, mengatakan bahwa idiopon adalah bunyi alat yang menghantar getaran tabuh inti instrument itu sendiri (Yayat Nusantara, seni SMA jilid 1 2003, Hal: 35 ). Jenis Gongga lima  terdapat diwilayah balanipa hampir sama dengan alat musik parappasa dari Gowa Sulawesi Selatan, perbedaan Parappasa dengan Gongga lima  dapat dilihat dari penampilan alat itu, dalam pembuatannya bambu dibelah-belah kecil yang ukuran bilahannya hampir sama besar dengan pensil sehingga dalam penampilannya menyerupai sapu lidi, cara memainkannyapun tidak sama dengan Gongga lima, sebab ketika dimainkan alat ini dibenturkan kebenda lain untuk mendapatkan bunyi.


DSC01798Dahulu di Mandar sampai sekarang masih dijumpai pekerjaan masyarakat yang pekerjaannya adalah sebagai petani Areng istilah Mandarnya adalah “Passari atau Tosumari”  tempat yang digunakan  untuk mengambil areng disebut “Kokok atau Sue”  (bambu yang panjangnya 1 sampai 1,25 cm, dahulu masyarakat Mandar juga menggunakan alat ini sebagai tempat mengambil air sekarang jergen atau buah bila, menurut Kadatira atau biasa disapa A’bana Fatima mengatakan bahwa pengambil air yang rata-rata pengambilnya adalah seorang gadis selalu diikuti oleh para pemuda saat itu dan ditempat pengambilan air (sumur-sumur kecil) kira-kira pukul 17.00 WITA atau saat terbenamnya matahari,  terkadang pertunjukan Gongga lima berlangsung sebagai media menyampaikan perasaaan seakan memperlihatkan keterampilan mereka, peristiwa itu terjadi sekitar Abad ke 16 atau masa pemerintahan I Manyambungi (raja Mandar yang pertama), dari sumber itu para pemuda membuat alat atau media sebagai bentuk cintannya terhadap sang gadis tersebut. Sehingga menurut beliau Gongga lima hasil dari peristiwa itu, dalam  pembuatanya tidak ada tiruan dari manapun kalaupun  ada persamaan dari daerah lain maka itu secara  kebetulan saja seperti misalnya: Jarumbing, jika dilihat dari bentuk instrumennya maka kita akan melihat persis dengan Gongga lima, dalam sejarahnya ada syair diciptakan pasca peristiwa itu yang diberi judul “ Indo Caawewe” dalam perkembangannya  Gongga lima beralih fungsi hanya sekedar digunakan  sebagai pemuas batin  ketika sedang melaksanakan aktivitas menunggu tanaman  dikala senggang. sekarang terkadang alat ini disajikan sebagai penambah bunyi eveck pada sebuah pementasan, baik itu pementasan musik, tari, maupun teater.
Bentuk Penyajian  
            Dahulu petunjukan Gongga lima diadakan berdasarkan konteks/lomba tetapi tidak direncanakan karena setiap pertunjukannya diadakan secara tiba-tiba dan atas dasar kesepakatan pemain, Kadatira mengatakan jika matahari terbenam malampun tiba menyelimuti suasana kampung saat itu, satu persatu para pemuda berdatangan serta ditangan mereka tidak terlupakan Gongga lima sambil memainkannya, hampir setiap malam terjadi peristiwa itu, jika para pemuda sudah berkumpul maka lomba diadakan pertunjukanpun berlangsung, tidak ada juri/penilai khusus, setiap pemain bertanggung jawab pada apa yang mereka lakukan, tidak ada panggung karena dimana ada pemain disitu ada pertunjukan, atau ditempat-tempat nongkrong, mereka harus sepakat untuk menentukan siapa pemenangnya, hadiah tidak jadi masalah karena pertunjukan hanya bertujuan sebagai pemuas batin dan teman suasana sunyi diperkampungan, kategori pemenang berdasarkan pada kemerduan bunyi gongga dan cara bermain, penilaiannyapun dilakukan melalui jarak jauh dan bukan jarak dekat, bentuk penilaian ini ada hubunngnnya jika telinga ditutup, jadi hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat balanipa  sudah memahami tentang bagaimana bentuk mendengarkan bunyi yang merdu (berkualitas) mereka yang kalah harus mengakui kekalahannya/sportifitas masih dijunjung tinggi saat itu dan yang menang terkadang beruntung sebab Gongga lima terbaik  biasanya ada yang ingin  menukar dengan pohon kelapa,  jadi dalam permainannya tidak pernah ditemukan sara/masalah antar warga tetapi sangat disayangkan, pertunjukan semacam itu sudah tidak ditemukan hingga sekarang disebakan pemain jarang ditemukan, pertunjukan Gongga lima  hanya sekedar penambah bunyi eveck garapan musik yang terkadang dilakukan karena pelestarian budaya.  Tidak ada jenis Gongga lima yang mendasar sebab, dalam penampilannya gongga yang terbuat dari dulu hingga sekarang tidak pernah ditemukan perubahan baik itu secara betuk maupun bunyi, kendati demikian yang perlu diperhatikan pada saat pembuatannya karena harus memilih bahan paten sehingga dapat menghasilkan bunyi yang merdu  dan tidak mudah rusak.



Mengenal Gongga Lawe
DSC01782            Gongga Lawe adalah jenis musik yang termasuk klasifikasi idiopon yakni bunyi alat yang menghantar tabuh initi instrument itu sendiri, ada di wilayah balanipa  juga terdapat di wilayah lain seperti toraja yang disebut genggong, Gongga Lawe dibuat sesuai dengan apa yang terjadi pada masyarakat, dahulu sampai sekarang masih dijumpai pekerjaan pembuat gula merah dari areng, masyarakat jawa menyebutnya dengan gula areng, menurut penuturan Kadatira salah satu perwaris dan sekaligus pemain yang masih sangat aktif, saat pembuatan gula merah berlangsung perasaan  bosan dan ngantuk seketika muncul dalam hati seorang pekerja, oleh karena proses sangat melelahkan dan memakan waktu yang lama air areng berubah menjadi gula, dari sejarah itu timbul  disanubari para pekerja membuat sebuah benda yang dapat menghibur diri, pembuatan Gongga Lawe sedikit ada peniruan dari Gongga lima, itulah sebabnya sehingga disebut gongga tetapi dimainkan melalui bibir, dalam bahasa local Mandar disebut Lawe kesimpula yang dapat  dipetik dari penjelasan ini Gongga Lawe dibuat setelah Gongga Lima dipermukaan, selain itu tentang penamaannya sangat beralasan sebab benda ini tidak akan bunyi sesuai yang diinginkan tanpa melalui bibir, dan dijadikan sebagai ruang resonansi atau penampung bunyi, meskipun tanpa bibir alat ini dapat berbunyi, tetapi bunyi yang dihasilkan tidak jelas sebab pendengaran kurang menjangkau, melodipun terabaikan, apa yang dihasilkan tidak lain adalah sebuah bunyi mempunyai karakteristik  berbeda dengan alat musik lain, terkadang manusia menyepelehkan dan meragukan kemanpuannya, sebagai alat musik tentunya dapat menambah khasanah permusikan  di dunia, ada banyak pendapat dari mana  mulanya. Dari pengamatan penulis banyak yang menyerupai dan sangat mirip dengan benda tersebut, pertunjukannya sebagai pemuas batin  dipenungguan pembuatan gula merah, dan tidak lama penggunaanya beralih fungsi menjadi sahabat petani dikalah senggang, menarik ketika ditelusuri apa yang terdapt pada Gongga Lawe sebagai mana yang dipaparkan oleh Bapak Kadatira mengatakan bahwa yang membuat istimewa dari alat ini yakni dapat menjadi sarana atau media berkomunikasi para remaja yang sedang memadu kasih, ruang resonansi menjadi sumber kata-kata ketika lantunan Gongga Lawe  sedang berlangsung, sangat disayangkan, hari ini kita tidak menemukan sejarah itu, sekarang tidak seindah dulu karena, pertunjukannya hanya  sekedar pelestarian budaya, itupun sesaat, paling menyedihkan ketika hanya   satu orang saja yang dapat memainkan secara piawai dan mahir ada yang  bisa tetapi tidak sehebat Kadatira ( A’ba Fatima).

Bentuk Penyajian
DSC01787            Seperti yang kita ketahui bahwa permainan Gongga Lawe  dimainkan melalui bibir, tidak dipetik juga tidak ditiup cukup menghentakkan tali dibagian tali panjang, lidah Gonga akan bergetar  sesuai hentakan, bunyi Gongga Lawe semakin besar ketika  bibir difungsikan sebagai ruang resonansi, melihat dari sisi instrumennya terdapat item-item tertentu yang mesti diperhatikan, diantaranya kedua tali dan lidahnya, tidak boleh salah dalam menempatkan posisi tangan apalagi ketempat resonansi.
DSC01786DSC01785da dua tali yang melekat dimasing-masing pinggir alat ini, sebagai langkah awal tali yang panjang kemudian dipilih tangan yang kuat untuk menghentakkan, sedangkan  tali pendek dipilih tangan lemah yang melilit dibagian lubang satunya bertugas sebagai penahan dan mengimbangi hentakan, tidak ada aturan akan memilih yang mana untuk kedua tali ini, sebab selalu disesuaikan dengan kenyamanan bermain, apakah tali penahan berada di tangan kiri atau sebaliknya tali panjang yang berada disebelah kanan, selama alat masih berada dibagan resonansi maka permainan akan terus berlangsung.
DSC01788
            Dalam sejarah pembuatan Gongga Lawe, sebagai dasar utama terdapat beberapa langkah yang diambil untuk proses ini, tetapi sebelumnya akan dijelaskan mengenai struktur dimulai dari bahan  sampai pada teknisnya, dahulu saat pembuatannya bahan yang diambil adalah alat pemikul kokok atau Sue dalam bahasa lokal  masyarakat Mandar disebut “Lembar”  oleh karena alat pemikul terbuat dari tangkai pohon Areng maka dari sejarah itu pembuatan Gongga Lawe dimulai dibuat  dengan cara membelah-belah tipis diperkirakan ½ cm dan memotong panjang sekitar 25cm, antara tempat lubang tali panjang dan tempat lubang tali pendek lebar yang digunakan tidak sama, sebab tempat tali yang panjang menggunakan lebar 2cm dan tempat tali yang pendek 1 ½ cm setelah semuanya selesai dipotong akan mengalami perubahan nama bukan lagi tangkai tetapi pelepah areng, bahan yang digunakan sampai sekarang tidak berubah yakni tetap memilih bahan yang sama, dengan catatan pelepah itu harus kering tetapi saat pembuatannya disarankan pelepah sedikit mentah demi memudahkan pembuatan lidah (tetapi tidak terlalu mentah). langkah tersebut sangat mempengaruhi hasil bunyi, kemudian dibagian isi pelepah dibuatkan 3 batas sebagai tanda pemisah antara lubang tali dan lidah, diantaranya 2 batas untuk lubang tali, masing-masing diperkirakan 2 ½ cm yang ditempatkan dimasing-masing pinggir pelepah  dan 1batas untuk penguat lidah agak sedikit condong ke bagian lubang tali penahan . Cara untuk membuat batas cukup kembali menipiskan pelepah kira-kira ½ dari tipis pelepah yang asli. Lidah Gongga Lawe menyerupai lidi sehingga membuatnya harus menggunakan teknik dengan teliti, langkah yang ke 3 ini adalah bangian pembuatan yang rumit, biasanya  hasilnya gagal mengakibatkan harus menghambil bahan lain.



Mengenal Rebana

DSC01748             Rebana adalah sebuah alat musik termasuk klasifikasi Membrapon. dalam buku Solihing dijelaskan melalui buku banoe, bahwa musik tersebut menggunakan kulit sebagai sumber bunyi atau selaput tipis yang direntangkan. (Solihing, Ibid: 95). Rebana dalam bahasa local masyarakat Mandar disebut “Rawana” orang Arab menyebutnya Lafud, dalam sejarah Nabi Muhammad SLW, seperti  yang dikisahkan H. Mahmud Ganna lewat Annanggurunya (Gurunya) Al Mukarram KH. Muhammad Saleh, (Guru Tarekat Qadiriyah Mandar Sulawesi Barat) mengisahkan Bahwa konon suatu ketika Nabi melakukan perjalanan dari Mekkah Ke Madinah, setelah tiba di Madinah Nabi dijemput oleh salah satu paket hiburan yang disebut Lafud atau Rebana.  Kehadirannya sebagai alat musik tradisional merupakan penggabungan budaya antara budaya Arab dan budaya Mandar. Sekitar abad ke 17 yang lalu atau zaman pemerintahan raja Mandar yang ke IV Daetta, anak pertama dari raja ke II Tomeppayung, Cucu Raja Mandar I Imanyambungi (Todilaling). Wilayah ini menjadi salah satu target untuk menciptakan sebuah paham yang konon adalah paham melawan animisme atau zaman penyembahan berhala, pengaruh itu tidak lain kalau bukan pengaruh budaya Arab, (Ibu Cammana, 31 juli 2003).  Sedangkan penuturan Bapak Suani mengatakan bahwa pengaruh itu datang dan dimulai dari pulau Sumatera, kejawa, lalu ke Sulawesi, dan kalau tidak salah, kata beliau Di Sulawesi Selatan pengaruh budaya Arab dimulai dari Gowa hingga ke Mandar, ketika itu Kuna Alias Kamaruddin adalah raja Binuang yang menjadi pengawal utama dan sponsor atas terjadinya penyiaran agama Islam, dalam tulisan laporan Pemda Dinas Kebudayaan dan Pariwisata polewali Mandar mengatakan bahwa menurut pendapat orang-orang Mandar beberapa tahun setelah gowa menerima islam, yaitu setelah melalui Sawitto ini diperkirakan, bahwa kejadian ini berlangsung sekitar tahun kurang lebih 1610-1620.  Yaitu pada masa Daetta memegang tempuk pemerintahan yang dimulai pada tahun 1615 (Dinas Kebudayaan dan pariwisata polman 2006: 28), ada yang mengatakan di daerah Mandar adalah Kampung Lambanan Sekarang sudah menjadi Desa Lambanan Kec. Balanipa oleh seorang yang diberi gelar “Urussahada” (mula pengucapan Sahadat) dengan menggunakan media berupa alat hiburan , (Suani Ongko, tanggal 10 Oktober 2009), itulah sebabnya sehingga Lambanan (Desa Lambanan) termasuk Kampung yang masih kuat dengan  alirannya, selain itu setiap tahunnya Labanan juga salah satu wilayah Balanipa yang selalu mengawali penghelatan Maulidan, hal itu disebabkan karena wilayah lain sangat menghargai dan menjunjung tinggi kampung tersebut, ada lagi persi lain bahwa wilayah-wilayah yang masih berada dianaungan kultur Balanipa biasanya takut malapetaka dalam istilah bahasa lokal Mandar Disebut ”Mawusung”. Selama acara itu berlangsung maka permainan rebana selalu dihadirkan sebagai salah satu syarat acara dapat berlangsung. Almarhum Mawardi salah satu penulis tentang budaya Mandar pernah berpendapat diselah-selah diskusi Mengatakan bahwa sebelum lahirnya kebudayaan Islam di Mandar kata beliau, orang Mandar sudah Islam artinya sifat-sifat yang dilakukan Oleh Masyarakat Mandar kala itu banyak persamaan dengan budaya atau paham ajaran islam. kembali ditambahkan Oleh Ibu Cammana mengatakan bahwa ketika pengaruh budaya Arab memasuki wilayah Balanipa seketika paham Islam berkembang dengan pesat, menurut beliau media yang digunakan untuk mengajar atau menyiarkan ajaran (Islam) adalah musik Rebana, dari pemaparan diatas dapat menyimpulkan bahwa Musik rebana termasuk hiburan yang bernafaskan Agama (Islam) 
Foto0008Dari awal kemunculannya Budaya “Parrawana” (pemain rebana) tidak pernah mendapat kesulitan  berbaur terhadap permainan yang lain, Membran membuatnya semakin percaya diri  sebab, selain bunyi yang dihasilkan juga dapat mencairkan suasana dan menghanyutkan para pendengar untuk larut didalamnya, ritmis yang diperdengarkan membuat denyut jantung semakin berdebar, ditambah lagi oleh gaya Denggo dan Zikir seolah menjadi kalimat mengajak untuk kejalan yang benar, tidak pernah surut bahkan selalu mengalami perkembangan,  didalam  aturan permainannya selalu disertai dengan  beberapa Filosofi-filosofi, konon juga adalah bahagian dari filosofi Budaya Mandar.
 Bentuk permainannya dahulu sudah berubah jika dicermati pertunjukan yang sekarang, perubahan itu dimulai dari teknik penabuhan sampai pada Gaya Ferpormence awalnya digunakan sebagai media sarana menyiarkan agama islam pada acara penting misalnya pernikahan, Khitanan, Khataman, Maulidan Dan acara apa saja selama acara itu bernuangsa Agama Islam, tidak ada peniruan dari pulau Sumatera  yang juga sebagai permainan tradisional populer disana, Sumatera dan Mandar dianggap masing-masing menerima budaya baru yakni budaya Islam, kehadiran istrumen rebana ada persamaan yang dialami oleh orang Mandar dan diperkirakan semua yang termasuk wilayah indonesia mengalami hal yang sama.
Musik rebana adalah musik yang mengutamakan kemasalahatan ummat, faktanya dipermukaan telah mencuat hebat setelah menjadi salah satu paket kesenian serta ikon terbesar untuk kategori musik tradisional Mandar, tetapi  sekarang berbicara lain  melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar kewajaran, tidak lagi memperhatikan filosofi yang ada, karena semata-mata target utama adalah hiburan, seperti pada pertunjukan jalan atau yang biasa dikatakan Karnaval, orang Mandar menyebut “metindor/petindor “ terkadang didalam masyarakat ketika Karnaval apalagi terjadi pada karnaval Sayyang Paqtuqduq, para pengikut yang termasuk rombongannnya dalam arak-arakan melakukan hal-hal diluar batas, mabuk-mabukan, memakai topeng monyet, goyang dengan cara senggol-menyenggol, yang kesemuanya itu sangat riskan untuk menimbulkan unsure sara, parahnya lagi para pemain lebih memperhatikan tabuhan untuk melahirkan antusias penonton, para rombongan bersorai-sorai zikkirpun terlupakan, padahal jika kita ingin mencoba mengkaji lebih dalam tentang pertunjukan rebana, semua yang tergambar pada pertunjukan saat ini hampir dikatakan bahwa tidak ada yang sesuai dengan pertunjukan –pertunjukan sebelumnya, dahulu ketika menyaksikan pertunjukannya, meskipun akan melahirkan suara yang keras masyarakat menikmatinya dengan tenang, meskipun akan melakukan goyangan tetapi semua gerakan mempunyai makna tesendiri, meskipun pemain akan menciptakan ritmis menabuhnya dengan dinamika yang lembut serta penuh perasaan, khusyu kepada Tuhan, meskipun akan menggunakan kostum semua ditata sesuai dengan nilai-nilai islam, akhirnya kepada semua yang terlibat dalam pertunjukan satu ini kiranya dapat mengembalikan sesuai unsure yang terkandung didalamnya mari bersama-sama mempertahankan karakter itu sebab sudah dipastikan hanya mandar yang memilikinya dan kepada pemerintah lewat kebudayaan dan pariwisata kiranyanya menjadi awal untuk melakukan penyelamatan budaya ini, lakukan seminar budaya untuk melahirkan putusan tentang pencegahan itu, sebab kesyukuran bersama secara tidak langsung permainan rebana sampai sekarang masih memperlihatkan eksistensinya sebagai paket hiburan pamungkas untuk masyarakat Mandar Sulaweasi Barat.

Bentuk penyajian
            Dalam sejarahnya penyajian permainan rebana menjadi salah satu bagian terpuruknya orang mandar dimasa lalu, ritmis rebana memperlihatkan suasana kehidupan baru setelah lama dipetemukan pada dunia yang tidak pasti, masyarakat  saat itu hanya tahu berhala dan tumbuhan menjadi Tuhannya, seperti yang diketahui bahwa permainan ini menggunakan ritmis tabuahan membrane, pernyajiaanya dilakukan berdasarkan rampak oleh beberapa orang sekitar 7 sampai 12 Orang, pormasinya terkadang melingkar dan sesekali membentuk bulan sabit serta berjejer panjang, setelah semua menikmati lantunan tabuhan, biasanya ada  1 atau 2 orang ke tengah-tengah pemain untuk melakaukan gerak denggo.
Meskipun secara realita Denggo dan rampak rebana hanya sebuah permaminan dan hiburan tetapi, diseluruh Item pertunjukannya mempunyai makna dan filosofi yang perlu untuk dikaji, dilihat dari setiap yang timbul dalam gerakan Denggo melahirkan penjelasan bahwa, apa yang kami lakukan, apa yang kami perlihatkan, adalah sebuah tanda atau kalimat, aku megajak para penonton untuk masuk dilingkaran kami, mari berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan, ayo menuju kejalan Allah karena tidak ada lagi jalan yang baik selalin jalan ini, (Harun, Todang-todang, 05 Desember 1998) (Harun adalah salah seorang yang masih aktif dalam permainan rebana sekaligus Imam dari dusun Napo Todang-todang), sedangkan apa yang terkandung dalam rampak juga menjelaskan tentang keberadaan islam yang bersih, selain itu menjelaskan tentang indahnya kebersamaan dan perlunya kekompakan dalam berbuat (Gotong Royong). Ada beberapa tempat pertunjukan diantaranya: diatas rumah, dijalan (Karnaval) dan yang sering digunakan adalah dalam bentuk panggung, menarik jika dilakukan pada saat karnaval kegiatan itu menambah manisnya pertunjukan, biasanya ditemukan dan bahkan sering terjadi lontaran sastra tutur, orang mandar menyebutnya “Kaalindaqdaq” atau yang biasa disebut pantun, sekarang ada beberapa bentuk yang sudah mengikuti zaman seperti yang dilakukan oleh group Tammengundur, dalam pertunjukan menggunakan  bedasarkan penyajian teater, Teater adalah seni yang didalamnya terdapat beberapa unsure seni sehingga Teater dapat disebut Seni Multimedia. Tammengundur dalam pelaksanaan pementasannya terkadang ditemukan dalam bentuk Parodi, komedi ada dialog dan peran, namun menurut para parrawana yang dianggap Annangguru parrawana, (Guru Rebana) mengatakan ketidak setujuan tentang pertunjukan ini, memang kata beliau yakni Ra’ja Imam Tapango dari Todang-todang sekarang bermukim ditapango, Abdul Rasak Alias Paloh (Pua Juri) Imam Sugiwaras, Kawalla (imam Puccari) Guru Sumang Lampa bero Angin, dan Saleh dari renggeang mengatakan nada yang sama bahwa tidak boleh seenaknya mancampur adaukan antara permaimnan rebana dengan alat atau benda lain sedangkan Tamburin Orang Mandar Menyebutnya Ricci, itu sebetulnya pengganti Gero-gero, terkecuali dalam bentuk Kontemporer atau pertunjukan rebana hasil dari Eksplorasi sebab  alasan mereka yakni menghawatirkan pertunjukan aslinya akan puna, makanya dalam setiap Event festival Rebana selalu mengedepankan tentang Original.
Jenis Instrumen dan Tabuhan
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa seni pertunjukan Parrawana adalah salah satu seni pertunjukan tradisional Mandar yang penyajiannya dilakukan berdasarkan acara-acara tertentu dan penyajiannya dapat dilakukan oleh siapa saja baik itu laki-laki, perempuan, dewasa bahkan anak-anak, dan setelah memperhatikan alat yang mereka gunakan, instrument rebana laki-laki (dewasa) paling besar sekitar 60 cm bahkan dahulu ada instrument yang melewati dari ukuran itu, dan Perempuan (Dewasa) paling besar sekitar 40 sampai 50 cm, yang paling mendasar dilihat dari perbedaanya adalah lebar instrument rebana yang digunakan perempuan lebih tipis dibanding instrument rebana yang digunakan laki-laki sedangkan untuk anak-anak ada yang berukuran 20 sampai 30 cm tetapi terkadang juga dipakai untuk ukuran laki-laki (dewasa).

            Ada 5 (lima) jenis Tabuhan yang sering diperdendangkan oleh beberapa pemain, hal ini menjadi dasar utama bagi creator-creator seni rebana untuk menciptakan ritmis-ritmis yang baru, sehingga didalam permainannya terkadang didengar sebuah ritmis yang sama tapi berbeda judul  atau zikkir, sementara didalam catatannya bahwa kadangkala permulaan kalimat dari bait pertama dijadikan sebagai judul lagu sekaligus nama tabuhan seperti tabuhan Otove, Otove adalah sala satu pengembangan tabuhan dari lima jenis tersebut, namun diantara ruas-ruas barisnya ada selisih 1 atau 2 not yang berbeda terhadap ritmis yang sudah ada diantaranya adalah :

1. Bu’ru’da (Tabuahan pembuka)
            Tabuahan ini selalu menjadi tanda opening atau dimulainya pertunjukan rebana, selain itu Bu’ru’da adalah jenis tabuhan yang mutlak pertunjukannya disebuah ruangan sebelum dipentaskan di Out Dor (ruang terbuka) dalam artian bahwa ritual sering kali ditemukan sebagai tanda keselamatan. 2 zikir yang digunakan untuk tabuhan Bu’ru’da yakni Bisama dan Tanangka




2. De’de Kanjar
            De’de Kanjar adalah jenis tabuhan yang sudah mengalami perkembangan diantaranya Tabuhan Petindor, tabuhan Otove, Tabuhan Tama-tama. Tabuhan-tabuhan ini dapat dijelaskan judul yang dihasilkan berdasarkan kasus atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam mnasyarakat Mandar seperti  petindor, dalam acara pernikahan selamanya dilakukan istilah metindor atau irngan-iringan pengantin laki-laki menuju ke kediaman perempuan karena media yang digunakan adalah musik rebana maka jenis tabuhan yang dilantunkan adalah tabuhan petindor. Sedangkan tabuhan Tama-tama dapat dilihat dari ketukan ritmis yang dibawakan, dalam permainannya terdengar lebih banyak bunyi Plak dari pada bunyi bung.

3. De’de Tallu
            De’de Tallu ini dapat dijelaskan sama seperti penjelasan tentang tabuhan Tama-tama, yakni bunyi yang dihasilkan memperdenganrkan 3x bunyi bung, istimewanya adalah bahwa tabuhan ini masih berdiri sendiri.

4. De’de Appe
            De’de Appe ini hampir sama dengan tabuhan De’de Tallu namun kenyataanya de’de Appe ini merupakan perkembanngan dari de’de tallu, yakni hanya mengalami penambahan bunyi Bung dan secara teori musik tetap ketukan sama tetapi nilai not yang berbeda.
5. De’de Panette
            De’de panette ini adalah jenis tabuhan yang juga merupakan tabuhan berdiri sendiri dalam artian belum ada yang mencampuri atau belum mengalami perkembangan karena dianggap jenis tabuhan ini adalah tabuhan baru dan secara khusus dimainkan  pada saat pertunjukan  karnaval.



Mengenal Ganrang

DSC01981DSC01982             kata ganrang berasal dari gendang atau genderang, dapat pula di artikan sebagai alat tabuhan. Gendang adalah instrument musik yang universal (Umum) karena suku Bangsa-bangsa mempunyai alat musik ini. Menurut solihing dalam bukunya yang berjudul royong mengatakan peyebutan ganrang disebabkan oleh pengaruh logat bahasa Makassar, logat serupa dapat dijumpai didaerah Kalimantan pada suku melayu banjar yang kadang dalam percakapan sehari-hari vocal /e/  diganti menjadi vocal /a/ sehingga penyebutan gendang itu menjadi gandang  (Solihing, Ibid : 95), Dalam buku solihing Juga dijelaskan yang penjelasan itu dikutip dari (Depdikbud, 1985: 33), bahwa kata gandang boleh jadi berasal dari kata Gandrang yakni istilah genderang yang dalam bahasa ucap lazim terdengar gandrang dengan menghilangkan huruf /e/ diantara hurf /d/ dan /r/, dalam bahasa melayu dan bahasa Indonesia, genderang memang merupakan istilah bagi gendang (Drum) untuk mengobarkan nafsu agresif dalam peperangan yaitu genderang perang”. Ibid. itulah sebabnya dalam bahasa Makassar disebut gandrang.
            jika melihat serta menyimak penjelasan diatas yang juga dianggap sebagai pendekatan teori penulisan ini maka,  sangat memungkinkan adanya hubungan dari penuturan Madang salah satu pemain kuntau (pesilat) dari Mandar yang mengatakan bahwa pada zaman pertempuran Dzaeng Ilalang ( Raja Balanipa) dengan bangsa Kaeli yakni menggunakan Gandrang sebagai bahan sugesti serta memotivasi prajurit sehingga mempunyai feeling keberanian. Gendang atau gandrang merupakan klasifikasi musik membrafon karena sumber bunyi yang dihasilkan melalui kulit atau selaput tipis yang direntangkan.
            Kehadiran musik ganrang diwilayah Mandar adalah sebuah budaya yang secara tidak sengaja menjadi salah satu kesenian Try fungsi (mempunyai 3 fungsi ) yakni  digunakan didalam peperangan, mengiringi permainan Kuntau (silat), dan sebagai pengiring tari tradisional, menurut H. Ahmad Asdy salasatu penulis tentang budaya Mandar mengatakan bahwa awal  munculnya Ganrang bukan atas penemuan secara langsung oleh msyarakat Mandar melainkan datang dari daerah lain. ( Wawancara H. Ahmad Asdi, Tinambung 17 Oktober 2009)  bahan penuturan lain juga timbul dari Bapak yali yasseng, Ganrang adalah alat berupa bunyi tabuhan yang digunakan sebagai bagian dari hidupnya suasana, saat itu I Manyambungi (Todilaling) melakukan perjalanan dari Gowa Makassar ke Mandar, sementara konon instrument tersebut merupakan hasil rampasan I Manyambungi  ketika menjadi panglima perang Raja Gowa dalam peperangan melawan suku Mataram, akibatnya Todilaling mempunyai hak atas benda itu (Ganrang) penuturan  kembali ditambahkan bahwa kejadian itu terjadi ketika memasuki zaman kerajaan Gowa yang ke 5 (Lima). Saiful Syindrang dalam bukunya menjelaskan tentang keberadaan hak  atas alat musik yang dikutip dari tulisan W.J. Leyds, madjene 9-2-1940, hal 28, kerajaaan Gowa menang dalam peperangan yang dipimpin oleh I Manyambungi (Todilaling), kala itu 11 (sebelas) macam tanda bukti berupa benda kemudian dibawa ke Mandar oleh todilaling hingga menyepakati bahwa apabila Raja Gowa berkunjung ke Mandar maka tidak perlu membawa benda atau alat-alat karena ke 11 benda ini adalah merupakan miliki bersama yang juga pantas digunakan oleh raja Gowa. Adapun benda itu antara lain: Gong (Tabbi lowe), Tombak I Naga, Senapang I Tata, Benderah I Sorai, Doe Pakka (Tombak Bercabang), Songkok Saloko Kati, Gong I Datoq, Keke, Gendang (Gandrang), Utte, Jalappa (kotak). (A. Syaiful Sindrang, 1994: 12)   Berdasarkan penjelasan tersebut sangat membuktikan budaya Ganrang adalah budaya yang secara tidak langsung menjadi hak atas kepemilikan kekerajaan atau suku Mandar, sebagai kesimpulan tentang penamaan Ganrang adalah diduga hasil dari Gowa Makassar, pernyataan para narasumberpun menjadi fakta karena tidak dapat menjelaskan secara Validitas.    
Bentuk Penyajian
DSC01976DSC01966 Eksistensi Ganrang sebagai alat musik tradisional mempunyai pengaruh yang cukup besar sebab kehadirannya merupakan pengembangan tersendiri bagi cabang kesenian yang ada di daerah Mandar, salah satu pembuktian diantaranya ketika ditelusuri bagaimana penyajian Ganrang yang sesungguhnya, dahulu kesenian musik tidak sehebat seperti pada penyajian-penyajian sekarang karena dianggap alat tabuhan membrane merupakan pengatur ritme yang berpengaruh pada cabang kesenian lainnya. penyajian Ganrang dahulu hanyalah sebagai bentuk kelengkapan harmonisasi para bangsawan sehingga tidak salah ada instrument yang masih tersimpan rapih dan dianggap sebagai benda sacral (Sossorang). Menurut perkembangannya bahwa penyajian Ganrang dilakukan sebagai pengiring tari. Menurut para tokoh masyarakat Napo Balanipa dan budayawan. Ketika raja Mandar 1 (pertama) meninggal dunia, pengebumiannya dilaksanakan secara adat, diliang lahat sebuah tarian tradisional Pattu’du dipentaskan mengiringi sang raja selama 7(tujuh) hari 7(tujuh) malam, hingga suara dan bunyi Ganrang berhenti mengalun, masyarakatpun memastikan bahwa mereka para pemain tidak bernafas lagi,  hingga diera ini penyajian Ganrang berkembang lebih khusus menjadi syarat serta kebutuhan utama bagi pelaksanaan permainan Kuntau (silat).
Teknik Memainkan 
DSC01974DSC01975             Di dalam belajar dan memainkan Ganrang ada beberapa hal yang harus di perhatikan, yang pertama adalah penguasaan teknik tabuhan, penguasaan selanjutnya yang harus dimiliki adalah kemanpuan memainkan ritme, tentu saja hal ini harus dilakukan melalui proses belajar secara berulang-ulang, namun penguasaan ritme saja belum cukup. Ganrang dimainkan dengan posisi duduk instrument diletakkan tepat pada paha lalu dijepit, paha kanan dibagian atas  dan paha kiri dibagian bawah kedua kaki disilang sebagai pengungci supaya ketahanan menabuh semakin kuat, jika paha kanan dibagian atas itu berarti bahwa tangan kiri berada pada membrane kecil begitupun sebaliknya, untuk mendapatkan hasil bunyi yang sempurna maka instrument harus tepat pada peletakan posisi selama bermain,






           
Dilihat dari bagian instrument Ganrang ada 2 (dua) membrane yang menjadi sumber bunyi yakni membrane ukuran kecil dan membrane besar, pada membrane kecil selamanya berada dibagian atas dan membrane besar berada dibagain bawah, bagaimanapun posisi pemain, membrane kecil salalu barada dibagian atas namun terkadang pemain berbeda-beda dalam memainkan, sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan kelincahan tangan, biasanya ada yang mengandalkan tangan kiri ada pula yang mengandalkan tangan kanan, jika tangan yang dianggap kuat maka peletakan stick (kayu penabuh) berada ditangan tersebut, sedang aturan permainannya Stick selalu menabuh pada bagian membrane besar. Seperti yang dinyatakan bahwa didalam permainan ini menggunakan Stick, cara memegang tidak seperti ketika memegang stick drum dengan cara dikepal tetapi, Stick diletakkan ditelapak tangan lalu ibu jari sebagai penahannya. Dalam permain ini juga ada teknik memainkan yang sama dengan tiknik memainkan rebana yakni menggunakan teknik Bumbung bung dan plak Teppa. 






Mengenal Gong

Foto0014            Gong adalah sebuah benda yang terbuat dari logam atau besi, jika ditabuh dapat menghasilkan bunyi berndengung, dalam bahasa  Mandar disebut Ta’bi Lowe orang makassar menyebutnya Dengkang, penuturan Solihing dalam bukunya, gong termasuk alat musik Idiofon karena sumber bunyi berasal dari alat itu sendiri.
            Menyebutnya dengan Ta’bi Lowe akibat sejarah yang diceritakan lewat penuturan salah satu narasumber yang mengatakan, kata Ta’bi Lowe adalah kalimat masyarakat Mandar tentang kejadian-kejadian aneh, kala itu dentuman bunyi sedang mengalun mengiringi detik-detik sandaran perahu para rombongan Imanyambungi (Raja Mandar I). (Wawancara H. Ahmad Asdi :2009)  mayarakat tidak menyadari bahwa kalimat yang keluar dari mulutnya ternyata adalah sebuah sejarah penamaan Gong, yang tidak lain kalau bukan Ta’bi Lowe (kejadian-kejadian aneh), pandangan lain dilontarkan Bapak Yali Yasseng berdasarkan tulisan lontark Balanipa, Ta’bi Lowe adalah salah satu bukti sejarah perjalanan Imanyambungi ketika menjadi Panglima perang Raja Gowa Yang Ke 5 (Lima) kala itu Imanyambungi Merampas benda saat melawan Suku Mataram.
Foto0013            Kehadiaran Ta’bi Lowe sebagai alat musik Mandar merupakan budaya yang tidak secara langsung diciptakan oleh orang Mandar ada persamaan dari sejara kehadiran Gandrang, awal kemunculannya dibawa dari Gowa sehingga tidak salah jika alat musik Gong atau Ta’bi Lowe lebih dulu dikenal di Gowa  sebelum Mandar mengenalnya, dapat dibuktikan bahwa sampai hari ini tidak ada yang bisa membuatnya, namun hanya bisa dipesan dipulau jawa, sedangkan menurut pemaparan Solihing dalam bukunya mebahas tentang, sekarang di Sulawesi Selatan sudah sangat sulit didapatkan, karena pembuatnya tidak ada lagi, untuk mendapatkan yang mutunya bagus baik itu model ataupun besar harus memesan dari pulau jawa atau Sulaswesi Tenggara. (Ibid). Ada lagi jenis gong yang ukurannya kecil disebut Tawa-tawa juga merupakan bukan budaya milik masyarakat Mandar. Dalam permainan musik Tawa-tawa berfungsi sebagai penentu aksen ketukan pada sebuah pertunjukan baik itu pertunjukan Musik maupun Tari, Solihing kembali menuturkan dalam bukunya fungsi gong dalam penyajiaanya adalah sebagai penguat irama atau penentu aksen pukulan gendang yang dimainkan, (Ibid). sekarang penyajiannya didalam pertunjukan Tari dan Pamacca (Pesilat) sesekali dimaiankan dalam pertunjukan musik namun hanya  sekedar kolaborasi atau penambah epeck suasana.








Mengenal Sattung
        Kata Sattung berasal dari “Kalipattung” jika diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah katak yang berbunyi setelah hujan turun dimalam  hari atau tempat rawa-rawa. Bapak Suani menuturkan, sattung tidak terlepas dari kehiduipan Tomakaka Tinunnungan, menurut sejarahnnya “Wassu-wassuli” (pondok-pondok kecil) menjadi tempat tomakaka tinunnungan beristirahat, bersenang-senang, di puncak gunung. Diperistirahatannya mendengar sebuah bunyi konon itulah yang disebut “Kalipattung” sehingga dibenak Tomakaka mempunyai inisiatif untuk menirunya akan tetapi dihambat oleh sulitnya peniruan itu maka, dibuatkanlah alat yang hampir menyerupai Kallipattung sekaligus dinamakan Sattung, tentang penamaan dan pembuatan semua difikirkan olehTomakaka Tinunnungan, Tinunnungan adalah nama wilayah yang terletak 1 km dari dusun Limboro, Desa Ongko, Kec. Camapalagian Kab. Polewali Mandar. Wilayah ini termasuk wilayah kerajaan Balanipa.  Awal Penyajiannya dilakukan sebagai media untuk memuaskan batin ketika sedang dalam keadaan senggang, lalu berkembang menjadi alat hiburan saat pelaksanaan upacara pelantikan raja dan sampai sekarang tidak lagi menfungsikan  separti  semula melainkan hanya sebagai pelengkap pertunjukan ”Orkes Toriolo” kelompok Orkes Toriolo  bertempat tinggal di desa Ongko Kec. Campalagian, Kab. Polewali Mandar yang dipimpin oleh Bapak Suani. Sattung terbuat dari Ruas bambu yang telah dipilih (kering) semaikin panjang ruasnya semakin bagus kualitasnya, membuatnya dengan cara memotong bambu sesuai dengan ruas, tulang akan tetap melekat sehingga terlihat tidak bolong lalu mengikat dengan teratur ujung-ujung bambu untuk menghindari kerusakan ketika mencungkil kulit bambu sebanyak 2-3 kali, hasil cungkilan itu diberi greff  (pengganjal Dawai) dari unjung ke ujung, kemudian ditengah-tengah ruas bambu dibuatkan lubang resonansi dan dipertengahan dawai juga diberi kayu tipis sebagai tempat untuk memetik dawai, dan yang terakahir tulang yang berada disebelah kiri diberi lubang untuk menciptakan epeck  Vibrator .







Mengenal Keke

DSC01774Keke merupakan salah satu alat musik tradisional Mandar yang tergolong dalam pengklasifikasian alat musik Europhon. Menurut Ka datirah salah satu pelaku alat musik tradisional Mandar mengatakan bahwa alat tiup ini berawal dari bahan yang sangat sederhana  yakni batang padi,   sehingga alat ini pertama disebut Paluppung, didekat tulang ruas,  batangnya dipecah-pecah  secara teratur Alat tiup ini pada umumnya tidak digunakan sebagai alat musik pelengkap yang dapat dimainkan

bersama dengan alat musik lainnya tetapi semata-mata dimainkan sendiri sebagai penghibur dikala senggang alat inipun tidak merupakan alat yang permanen tetapi hanya sekali pakai. Terbuat dari bambu tipis atau yang biasa disebut oleh orang mandar Taroqda  atau Buloh-buloh panjangnya sekitar 20 cm. dalam buku Hj. Munasiah mengatakan, ujung-ujungnya dibuatkan lubang yang sama. Kemudian disambungkan dengan bambu yang sama pula tetapi ukurannya lebih kecil dari body keke, panjangnya sekitar 6 cm, sedangkan lubang penjariannya ada 4 lubang, lalu ujung depan dililitkan daun lontar atau daun kelapa agar suaranya lebih besar. Bagi orang bugis alat ini dinamakan panoni, orang toraja menamakan Barrung, dan orang  makassar menamakan sikundru, alat musik ini menggunakan lidah-lidah sebagai pengatur udara (vibrator). (Hj. Munasiah Najanuddin 2001, Hal : 45). Banyak orang bisa bermain instrument Keke namun tidak tahu teori sehingga tidak mampu membuat melodi dan tidak dapat menyesuaikan ke instrument lain. Bustam, (2009) dalam bukunya Paqbandangan Peppio Makkeke adalah sebuah permainan alat musik tiup , terbuat dari bambu sebagai mana suling, namun bentuk keke lebih kecil dan lebih praktis.  Cara meniupnya persis dengan cara meniup saluang, seruling kebanggan dari minang kabau, meskipun efek bunyinya  sangat jauh berbeda, sebab bunyi yang dimunculkan keke tidak bersuara merdu atau mendayu-dayu melangkolis, melainkan justru menerupai terompet dengan nada yang  sangat tinggi. (Bustam, 2009:88)  Musik Keke dalam penyajiannya mempunyai unsure melodi dan mempunyai karakter suara yang hanya satu warna, kebanyakan orang memainkan hanya mengandalkan Aero peniupan sehingga tidak menyentu fisikologi musik yang sesungguhnya, selain dari unsure melodi ada pula yang harus diperhatikan yakni Oreang  (peniupan panjang) teknik ini juga didapatkan didalam permainan Tambolang, ketika melakukan melodi dalam bahasa mandar disebut Ko’bi. Menurut Ka datira ada tiga jenis Ko’bi dalam permainan Keke yakni.

  • Ko’bi Karana Allah. Ko’bi ini terbagi lagi menjadi tiga yaitu Ko’bi Andu-anduru, Ayangan Me’da, dan Tolo
  • Ko’bi Tipalayo (nyanyian seorang Gadis)
  • Ko’bi Macci’da (Putus-putus)
            Menurut AM. Sarbin Syam salah satu Tokoh Budayawan Mandar mengatakan bahwa pada zaman kerajaan mandar alat musik keke dahulu digunakan oleh para bangsawan menjemput dan mengantar raja khusus disekitar istana.



                                     Mengenal Kecapi                          

Pada abad ke – 15 wilayah Mandar waktu itu sudah dikenal adanya tradisi (kebiasaan) yang berkembang dalam sosial budaya  masyarakat setempat. Tradisi atau kebiasaan yang dimaksud adalah tradisi maqelong (menyanyi), tradisi ini disebut musik vocal, orang makassar mangatakan dalam buku solihing dikatakan Royong, sudah umum dilakukan oleh para orang tua di Mandar saat akan atau hendak menidurkan anaknya.
Kebiasaan bernyanyi orang-orang tua tidak hanya dilakukan ketika akan menidurkan anak-anaknya, akan tetapi juga mereka terbiasa bersenandung jika  sedang istirahat di waktu-waktu senggangnya dengan tujuan untuk menghibur diri. Bersenandung dapat saja di lakukan baik di tempat seperti di ladang atau di kebun, di atas perahu, terlebih di dalam rumah.  Mereka para orang tua umumnya pandai menyusun kata-kata secara spontan sesuai dengan kondisi waktu dan keadaan di lingkungan  sosial masyarakat setempat yang dialaminya, pikiran menjadi inspirasinya serta tema nyanyian atau lagu yang disenandungkan sesuai dengan kebiasaan masyarakat tersebut, maka di Mandar dikenal adanya maqelong (menyanyi).
Tidak kala menariknya, bahwa nyanyian ataupun senandung para orang tua tidak hanya berfungsi sebagai hiburan primer (hiburan pribadi), melainkan nyanyian atau lagu yang ia senandungkan juga mengandung nasihat, pesan, bahkan senandung falsafah hidup orang-orang atau masyarakat. Dalam nyanyian tidak hanya pesan dan makna hidup, akan tetapi memiliki nilai estetik tersendiri, merdu dan nikmat di dengar, sehingga nyanyiannya menjadi kebutuhan bagi anak-anak bahkan menjadi kebutuhan sosial dalam kehidupan masyarakat Mandar. Salah satu contoh syair yang senantiasa di dendangkan “sa’baro’o naung patindo dzi boyangmu, Patindo’o dao sumangi, Pe’atuo’o dzi madzendeng”. (Tidurlah engkau, tenang dan sabarkan hatimu di tempat yang kau anggap istanamu, tidurlah jangan menangis, mekarlah dalam kehidupanmu, disertai dengan umur yang panjang). Syair ini mengandung harapan orang tua yang sangat menginginkan anaknya agar kelak dikemudian hari senantiasa mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.

Menurut salah satu tokoh pemusik kecapi di Mandar Bapak Hamil, agar lagu yang didendangkan  menjadi kedengaran lebih indah dan berkesan, biasanya para tetua mengambil sebilah kayu dari pohon “landri”  (baca: Landi) atau juga disebut ayu Padzandzean, kayu ini tidak lain difungsikan sebagai alat bunyi-bunyian untuk mengiringi lagu yang ia senandungkan
Jenis kayu yang disebutkan di atas, pada umumnya dalam masyarakat Mandar juga digunakan sebagai bahan untuk ayunan anak-anak. Bapak Hamil menuturkan Kayu ini  dipilih oleh orang tua karena memiliki arti dan makna, yang secara etimologis dapat diartikan bahwa pohon landri (baca: landi) yang berarti kuat dan tinggi, atau tidak terkalahkan. Sedangkan kata Padzadzean artinya saling mencukupi, dari pengertiannya itu, data diketahui begitu pentingnya kayu tersebut bagi masyarakat Mandar.
Am. Syarbin Syam telah memaparkan dikutip dari lontark Mandar Pappasang Puang Soro (Paqbicara Kaiyyang) Turunan Raja Alu, berbunyi : Mua Ditami Balimbunganna seiyyadaq (Sappulo Sokkoq) Tuomi Tuqu Meita Mapiami Tau Takkarae, Apa Mittirundummi Tau Ditappaq Uwwe, Mittullummi Tau di Ponna Ayu Kaiyyang, Iya Watanna Tanjappoq, Uwwakeqna Tarrattas, Taqena Tarreppo, Daunna Tassapeq, Buraqna Tarraqbas, Buana Tambemmeq, Mau Wemmeq Tipasender Toi, Mau ra’da Tipakoro Toi, Disesena Odi Ada Odibiasa”. (jika masih sempat melihat bubungan rumah pemangku adat, engkau akan terselamatkan diwarnai oleh hidup tanpa  ada cela, sebab ujung rotang sebagai tempat berlindung, bernaung di pohon tinggi nan kuat, tubuhnya tak runtuh, akar tak putus, ranting tak patah, daun tak sapeq, bunga tak berguguran, buah tak jatuh, tumbang masih bersandar, jatuh layaknya kapas. Sepanjang menurut adat dan kebiasaan.) (Am. Syarbin Syam 1 Februari 2010). Kayu Landi dalam bahasa Indonesia berarti Beringin, Sunda (caringin), Jawa (Ringin). Ciri diambil dari deskripsi: Pohon besar, diameter batang bisa mncapai 2 m lebih, tinggi bisa mencapai 25 m, batang tegak bulat, permukaan kasar, coklat kehitaman, keluar akar keluar menggantung dari batang. Daun tunggal, lonjong, hijau, panjang 3-6 cm, tepi rata, letak bersilang berhadapan, Bunga tunggal, keluar dari ketiak daun, kelopak bentuk corong, kuning kehijauan, buah buni, bulat kecil, 0,5-cm, perbanyaan dengan biji. (WWW.plantamor.com./indeks.php? Plant=579.    Seperti syair “Tedze” yang berbunyi Ta’bangi ayu welandri tombol lopi palari narisomballi ambanna beru-beru”, (tebang kayu belandri sambungkan pada perahu pelari biar kutumpangi mencari samudra kasihku.) syair ini mengandung jenis syair Tedze (Tedze adalah salah satu petikan, jenis petikan yang dimainkan dalam pertunjukan musik tradisional Pakacaping).
Dalam kurung waktu yang panjang kayu Belandri kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat instrumen musik, namun demikian belum diketahui kapan pembuatannya. Guna mendapatkan sumber bunyi, maka alat bunyi-bunyian yang dibuat diberi senar atau dawai diambil dari Tali  dan Per (pambor) ayunan. Alat inilah yang kemudian berkembang manjadi istrumen kacaping (kecapi) dalam masyarakat di daerah Mandar. Disini dapat dikatakan bahwa instrumen kacaping menyimbolkan antara darat dan lautan yang selamanya akan selalu saling mengisi dan tidak akan pernah lepas satu sama lain.

Dalam ensiklopedi musik Indonesia juga disebutkan bahwa di Mandar ada alat bunyi-bunyian, alat itu namanya instrumen kanjilo. Alat ini juga dikenal dalam masyarakat etnis Bugis, Makassar, dan etnis Toraja di daerah Sulawesi Selatan.  Di samping itu,  instrumen musik  inipun dikenal dan diketahui sebagai cikal bakal atau nama awal dari instrumen kacaping.  Dalam ensiklopedia musik Indonesia disebutkan juga bahwa  Kanjilo adalah.

“Alat petik berdawai dua utas khas daerah Mandar, Dawainya terbuat dari rotan yang sudah diraut halus,… badannya terbuat dari tempurung kelapa atau batok kelapa yang berfunsi sebagai wadah gemanya. Pada tempurung tersebut diikatkan  dua bilah kayu, pada kedua bilah kayu inilah rotan halus direnggangkan.” Suara lembut dan warna suaranya khas”. Pono Banoe menjelaskan dalam kamus musiknya bahwa  kancillo atau kanjilo adalah jenis alat musik yang terdapat atau berasal dari daerah Sulawesi Selatan  dengan bentuk menyerupai perahu.”
Pada saat Pono Banoe menjelaskannya, Mandar pada waktu itu (tahun 2003), masih dalam wilayah atau daerah pemerintahan Sulawesi Selatan, daerah Mandar dan masyarakatnya saat itu masih menjadi salah satu etnis besar di Sulawesi Selatan selain Bugis, Toraja dan etnis Makassar. Di kala itu masyarakat Mandar disebut sebagai etnis To-Mandar (orang Mandar).
 [1] H. Ahmad Yunus,  et al. (1985) Ensiklopedi Musik Indonesia Seri K-O Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi  Kebudayaan daerah, hal. 10.
[1] Pono Banoe (2003) Kamus Musik, Yogyakarta: Kanisius, hal. 209. 

Demikian sehingga dikatakan bahwa instrumen kanjilo berasal dari Sulawesi Selatan. Saat ini, Daerah Mandar sudah menjadi daerah provinsi sendiri yaitu menjadi daerah provinsi Sulawesi Barat, namun demikian perkembangan instrumen kecapi yang ada di daerah ini, dan yang ada di daearah Sulawesi Selatan berasal dari asal usul yang sama. Instrumen kecapi yang ada di dua wilayah yaitu di wilayah Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, sumber menyebutkan bahwa instrumen ini berasal dari moyang yang sama atau dibuat oleh pelaut Bugis Makassar termasuk Mandar di dalamnya. Instrumen kecapi dengan segala perkembangannya telah disepakati bahwa instrumen ini pada awalnya di sebut Kanjilo kemudian berganti nama menjadi instrumen kacaping (kecapi). Hal ini diakui baik oleh masyarakat yang ada di daerah Sulawesi Barat maupun di Sulawesi Selatan. Dapat diketahui bahwa, meskipun Instrumen kanjilo telah berubah nama menjadi Instrumen kacaping, akan tetapi belum diketahui bahkan belum ada sumber yang menyebutkan kapan pergantian nama dari kanjilo ke kacaping itu menjadi faktor siapa yang menggantinya itu juga belum diketahui adanya sumber yang menjelaskannya. Ada sumber yang memperkirakan, dan diperkirakan hanya istrumen kecapi yang ada di daerah etnis Makassar Gowa Sulawesi Selatan, sumber itu dengan kuat memperkirakan dan menyebutkan bahwa, instrumen dengan nama kanjilo diperkirakan sudah ada sejak masa pemerintahan raja Gowa yang ke XXII, yaitu I Manrabbia Karaeng ‘Kanjilo’ Sultan Najamuddin Tummenanga ri Jawaya (1724-1729).[1] Kemungkinan besar, kecapi Mandar juga sudah ada pada tahun-tahun tersebut, terlebih masyarakat Mandar masih ada kaitannya dengan sejarah masyarakat Gowa yang beretnis Makassar.
Instrumen kecapi yang ada di daerah Mandar tentu saja memiliki sejarah perkembangannya sendiri baik itu bentuk instrumennya  maupun bentuk pertunjukannya. Dari segi bentuknya, instrumen kecapi Mandar juga menyerupai perahu, karena masyarakat Mandar memiliki ciri khas bentuk perahu tersendiri maka bentuk instrumen kecapi di daerah ini, juga berbentuk perahu  ciri khas masyarakat Mandar. Instrumen kecapi yang berbentuk perahu juga  terdapat di daerah etnis Bugis dan Makassar, namun melihat dari segi bentuk fisiknya, bentuk instrumen kecapi pada  masing-masing etnit di daerah  Sulawesi Barat berbentuk seperti  ciri khas bentuk perahunya.
Dilihat dari segi unsur dan aspek bentuk pertunjukannya, Pakkacaping  di Mandar juga memiliki ciri khas  tersendiri, baik itu syair lagunya,  petikannya, dan iramanya, sampai kepada teknik memainkan, ataupun unsur lainnya.  Apapun perbedaannya, kecapi yang ada di Mandar memiliki pertautan sejarah dengan bentuk perahu yang ada dalam masyarakat tiga etnis di daerah Sulawesi Selatan. Antara Mandar, etnis Bugis, Toraja dan Makassar adalah etnis yang memiliki hubungan erat secara histories, mereka masyarakat pelaut yang ulung sama-sama memiliki instrumen kecapi dengan bentuk seperti perahu. Bentuk instrumen kecapi, dari keempat etnis tersebut menyerupai bentuk perahu pinishi.

Bentuk Penyajian
Bentuk pertunjukan pakkacaping dalam masyarakat Mandar, tentu saja lain dengan bentuk pertunjukan pakkacaping yang ada di masyarakat Makassar  Bugis dan sebagainya. Menurut Hj. Munasiah dalam buku yang berjudul Kesenian Tradisional Sulawesi Selatan bahwa, pertunjukan Pakkacaping dalam masyarakat Mandar mempunyai keunikan tersendiri dalam penyajiannya atau pertunjukannya.
Keunikan yang menjadi ciri khas pertunjukan Pakkacaing di Mandar dapat dilihat dari berbagai aspek pertunjukannya, beberapa aspek yang dimaksud seperti; tempat, pemain kacapi, waktu pertunjukan, dan Tipalayo (gadis-gadis cantik), dan Pamacco (penonton). Aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Apapun jensinya seni pertunjukan, tentu saja membutuhkan tempat (panggung/arena) untuk pertunjukan. Musik tradisional Pakkacaping sebagai salah satu jenis seni pertunjukan tidak terlepas dengan hal tersbut, karena tempat juga sangat menentukan menarik tidaknya sajian Pakkacaping untuk di tonton atau disaksikan. Tempat pertunjukan Pakkacaping di daerah Mandar memiliki dua bentuk yaitu bentuk Baru-baruga atau biasa disebut juga sebagai baruga (panggung) dan tanah lapang. Panggung baruga ini  di bangun dari papan yang diberi pagar bambu  sekelilingnya disebut walasuji.[2] Panggung atau baruga dibuat khusus untuk pertunjukan pakkacaping pada umumnya  berbentuk  persegi panjang sehingga arah pandang penonton ke panggung dapat dilihat dari segala penjuru mata angin. Baruga atau dibentuk terbuka  dengan arah pandang segala penjuru supaya para penonton dapat menyaksikan  dan berkomunikasi dengan pakkacaping atau pertunjukannya. Panggung juga sudah disesuaikan dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat, ketika datang menyaksikan pertunjukan pakkacaping senantiasa mengambil  posisi bebas sesuai dengan  arah datangnya. Dapat dicontohkan, kalau ada masyarakat sebagai penonton yang datangnya dari barat maka pada umumnya akan memposisikan  diri di arah barat panggung ketika menonton, demikian juga dengan sebaliknya. Meskipun demikian penonton juga dapat diarahkan untuk menyaksikan pertunjukan dari satu arah yaitu arah depan panggung atapun baruga, yang terpenting penonton harus lebih dekat dengan pemain kacapi. Tempat pertunjukan dalam tradisi pertunjukan musik tradisional pakkacaping, tidak selamanya menggunakan panggung  atau baruga akan tetapi, pertunjukan pakkacaping  juga umum dilaksanakan  di area lapangan ataupun halaman rumah  secara terbuka. Melihat pertunjukan pakkacaping yang dipertunjukkan di tempat atau di arah tanah lapang, tempat pertunjukannya hanya beralaskan tikar, dengan area pertunjukan tetap di buat empat persegi panjang, begitu juga dengan arah pandangnya dapat dilihat dari empat mata arah angin. Penonton atau masyarakat yang turut menyaksikan juga duduk melingkar disekeliling area pertunjukan yang hanya beralaskan tikar. Suasana dan kondisi yang terlihat pada saat pertunjukan pakkacaping menggunakan tanah lapang sebagai panggung, kesan kerakyatan  sangat mendominasi, terlebih antara penonton dan pemain hampir tidak berjarak sehingga lebih terkesan sangat interaktif atau komunikatif antara penonton dengan pemain kecapi.

Di samping kedua tempat pertunjukan pakkacaping tersebut di atas, tempat pertunjukan pakkacaping juga senantiasa dilakukan di atas rumah (jika rumah panggung) dan di dalam rumah (jika rumah batu tanpa tiang). Tempat pertunjukan pakkacaping sangat dipengaruhi oleh keluarga yang menghadirkannya atau yang menganggapnya, bagaimanapun yang punya hajat mempunyai hak penuh untuk mengatur dimana pemain kecapi atau tempat pertunjukan diposisikan. Dalam artian bahwa, tempat pertunjukan kecapi tidak mempunyai ketentuan atau keharusan yang  dengan kondisi dan waktu pertunjukannya sesuai kehendak yang menganggapnya (tuan rumah). Tidak mungkin pertunjukan kecapi menggunakan tanah lapang ketika sedang musim hujan, kecuali ada panggung beratap.  Ketika dilaksanakan dalam rumah, itulah tempat atau panggung pakkacaping masyarakat mandar.

Tempat pertunjukan pakkacaping baik  itu di dalam rumah, di tanah lapang,  maupun di atas baruga,  masing memiliki ciri yang sama. Ciri yang sama yang paling menonjol yaitu setiap tempat pertunjukan pakkacaping selalu dialasi  dengan tappere (tikar).  Hal ini sudah menjadi tradisi dan adat istiadat yang sudah mengakar di kalangan masyarakat Mandar, menggunakan alas duduk tappere juga sebagai symbol  sopan santun masyarakat Mandar untuk menghormati dan menghargai sesamanya, terutama untuk menghormati orang yang datang bertamu di rumah orang Mandar. Oleh  karena itu, setiap ada acara pesta upacara, tikar selalu  dijadikan sebagai tempat alas duduk utama para tamu,  termasuk dalam setiap pelaksanaan pertunjukan musik tradisional Pakkacaping.

Waktu dan Penyaji  
Waktu pertunjukan pakkacaping sama halnya dengan waktu pertunjukan dalam jagad atau dunia perwayangan di Jawa. Pakkacaping adalah salah satu jenis seni pertunjukan  musik  tradisional yang disajikan dalam interval waktu semalam  suntuk. Sesuai dengan istimasi waktu pertunjukannya bahwa, pertunjukan pakkacaping biasanya mulai disajikan dari pukul  20.00  WIT hingga pukul 05.00 dini hari. Pertunjukan pakkacaping yang berlangsung hingga dini hari bahkan sampai pada pagi hari, pada umumnya adalah pakkacaping yang dipertunjukkan dalam konteks pesta  upacara perkawinan, sunatan, syukuran rumah,  dan pesta-pesta lainnya yang ada hubungannya dengan pappadottong tinja (pesta hajatan), juga seperti dalam rangka memperingati HUT RI dalam setiap tahunnya, pada perayaan ini pertunjukan pakkacaping senantiasa dilaksanakan selama semalam suntuk.

Lagu-lagu atau syair-syair  sajikan  pakkacaping selama pertunjukannya adalah hal yang sangat terkait erat. Setiap batas  waktu tertentu, lagu-lagu atau  syair yang dibawakan dengan iringan  kobbi-kobbi pemain kecapi (petikan-petikan pemain kecapi) senantiasa disesuaikan dengan waktunya. Penyesuainya itu dapat diketahui misalnya, pada pukul 20.00 sampai dengan 22.00. WIT, biasanya jenis petikan yang dibawakan adalah jenis syair dan petikan Masalah (lagu ini  untuk menyamaikan pesan keagamaan). Sya’ir Masaalah, yakni tentang religius yang berisikan tentang ajaran agama  dalam bentuk pesan dan nasehat.  mengenai Tedze (jenis petikan yang bertema percintaan), dilagukan pada waktu tengah malam  dan dini hari bahkan terakhir disajikan adalah jenis petikan Itolo’ (jenis lagu yang bertemakan cerita kepahlawanan), Bahkan sya’ir Satire, yakni jenis syair sindiran  kepada orang-orang  kalangan atas  seperti pemerintah,  bahkan  kritik  terhadap masyarakat di lingkungan setempat.
Waktu pertunjukan pakkacaping, bukan menjadi keharusan  untuk  dilaksanakan di malam hari,  akan tetapi  juga bisa dilangsungkan  pada siang hari. Hal ini  dapat disesuaikan dengan kondisi dan keadaan serta konteks pertunjukannya.  Banyak juga acara-acara  pesta adat masyarakat Mandar yang dilaksanakan di  siang hari,  namun  pada umumnya acara  dilaksanakan pada malam hari. Pada  waktu malam hari  itu,  pakkacaping atau umum  disajikan.

Pemain kecapi yang dimaksud adalah orang yang memainkan kecapi sambil melantunkan syair atau lagu. Pemain kecapi ini, oleh masyarakat Mandar di sebut Pakkacaping. Pertunjukan musik tradisional Pakkacaping, biasanya dilakukan oleh satu, atau lebih dari dua orang secara berpasangan dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, dalam penyajiannya pemain kecapi saling berbalas-balas syair (berpantun). Pertunjukan pakkacaping  juga dapat dimainkan dalam bentuk permainan tunggal akan tetapi yang umum adalah disajikan  oleh dua orang pemain secara berpasangan melantungkan syair secara bergantian,  terlebih dalam  konteks upacara adat tradisi Mandar.
Syair-syair yang disampaikan oleh pemain selama pertunjukannya, tidak atau tanpa menggunakan teks lagu secara tertulis, melainkan lagu ataupun syair yang dilontaran hasil pikiran pemain secara spontanitas pada saat itu. Menariknya bahwa, meskipun pemain kecapi tidak memiliki teks syair lagu secara tertulis, akan tetapi mampu menyajikan lagu-lagu yang menarik kepada penontonnya selama semalam suntuk. Dapat dibuktikan bahwa belum pernah dijumpai adanya pemain kecapi menghentikan pertunjukannya karena kehabisan lagu-lagu atau syair. Oleh karena itu, pemain kecapi bukan sembarang orang, melainkan adalah orang yang memiliki kemampuan disamping mampu memetik kecapi, juga mumpuni dalam menyusun syair dan menguasai sastra secara lisan, dapat disebut bahwa pemain kecapi juga adalah seniman. Pemain kecapi memiliki kepekaan khusus, ia dapat berpikir sesuai  dengan kondisi lingkungannya pada saat itu, terutama ia dapat menyusun untaian kata-kata sesuai  dengan kondisi dan lingkungan  masyarakat saat pertunjukannya berlangsung. Syair lagunya pun dapat ia sesuaikan dengan konteks tempat ia mengadakan pertunjukan, sekalipun tidak ada persiapan dari rumah. Pertunjukan  kesenian  yang secara spontanitas ini juga dapat dijumpai di dalam pertunjukan passayangsayang.
Tipalayo (Gadis-gadis)
Salah satu ciri khas yang dimiliki pertunjukan musik tradisional pakkacaping adalah dengan adanya gadis-gadis yang selalu diikutkan dalam setiap pertunjukan. Gadis-gadis yang ada di atas panggung pada saat pertunjukan musik tradisional pakkacaping, dalam bahasa Mandar disebut tipalayo (gadis-gadis). Kehadiran gadis ini sudah menjadi bagian dari pertunjukan pakkacaping, dalam artian bahwa dimana ada pertunjukan pakkacaping disitu hadir tipalayo (gadis atau putri cantik). Kehadiaran gadis-gadis di atas pentas, tentu saja memiliki daya tarik tersendiri, daya tariknya tidak hanya pada paras kecantikannya, melainkan memiliki fungsi ganda.
Tipalayo atau gadis yang ada di atas panggung, sesungguhnya mengemban tugas semalam suntuk untuk memperlihatkan bagaimana gadis mandar yang sesungguhnya. Menurut hasil pengamatan pada saat menyaksikannya di lapangan bahwa, selama pertunjukan pakkacaping berlangsung masyarakat melakukan tradisi mappamacco (memberi uang atau barang yang berharga di depan gadis-gadis), tradisi ini hampir sama dengan tradisi sawer yang ada di daerah Sunda Jawa Barat. Namun Barang atau uang pemberian kepada pertunjukan pakkacaping  hanya diletakkan di depan para gadis, itulah tipalayo atau gadis-gadis, yang duduk satu panggung dengan pemain kecapi saat petunjukan sedang berlangsung.
Melihat fenomena atau peristiwa yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi keberadaan gadis di atas pentas pertunjukan pakkacaping adalah sebagai penentu atau tanda hadirnya barang-barang berharga atau uang yang ada dalam kappar (jenis talam lebih besar dari baki). Kappar (tilam) adalah alat yang terbuat dari logam yang biasa dipakai sebagai alat untuk mengangkat hidangan pada perjamuan atau pesta yang dilaksanakan oleh masyarakat Mandar.[3]
Tipalayo dalam pertunjukan Pakkacaping tidak hanya bertugas atau berfungsi sebagai orang yang menjaga barang berharga yang diberikan oleh penonton, akan tetapi dengan penampilannya di atas pentas penonton akan lebih antusias untuk menyaksikan pertunjukan kecapi selama semalam suntuk, tidak lain karena tertarik dengan kecantikan para gadis dara Mandar.  Tidak hanya penontonnya, bahkan pemain kecapi bermain dengan bersemangat memetik kecapinya, bahkan tipalayo juga dapat memicu inspirasi atau  ide pemain  kecapi dalam menyusun kata-kata yang akan dituangkan dalam syair lagunya.
Dapat dikatakan bahwa tipalayo atau gadis-gadis yang ada di atas panggung pertunjukan juga berfungsi sebagai media motivasi untuk meningkatkan antusias penonton maupun pemain kecapi. Melihat  fenomena  penonton dalam setiap pertunjukan pakkacaping bahwa, semakin  anggun dan cantik tipalayo-nya yang ada di panggung akan semakin ramai pertunjukan itu, bukti keramaiannya adalah dengan banyaknya penonton yang naik  ke atas pentas untuk memberikan  barang-barang berharganya, bahkan uang untuk diletakkan di atas tilam atau baki yang ada di depan gadis-gadis yang disukainya atau yang disenanginya. Uang logam yang digunakan menjadi ciri khas sekaligus sebagai karakter pertunjukan  pakkacaping.
Mencermati keberadaan tipalayo yang ada dalam setiap pertunjukan pakkacaping, tidak hanya sebagai gadis tontonan yang dapat menggiurkan semangat penonton, melainkan  Tipalayo  mempunyai  fungsi sosial untuk meningkatkan  etos kerja masyarakat Mandar. Salah satu contoh yang dapat dijelaskan adalah, jika masyarakat Mandar sudah mendengar kabar jauh hari sebelum pentunjukan pakkacaping, maka yang terpikirkan olehnya adalah bagaimana cara memberikan barang berharga atau uang di depan para tipalayo pada saat  ikut serta dalam pertunjukan nantinya. Demi harga diri, maka muncul motivasi dan usaha untuk  mendapatkan barang atau uang, untuk mendapatkannya maka harus bekerja. Masyarakat Mandar adalah masyarakat yang memiliki budaya siri’ (rasa malu), sifat ini juga dimiliki oleh orang-orang yang ber-etnis Bugis, Toraja, dan Makassar. Adanya rasa malu yang dimiliki masyarakat Mandar, maka ketika menyaksikan pertunjukan pakkacaping, malu rasanya jika tidak mappamaccoq (memberi sesuatu yang berharga kepada tipalayo). Biasanya ajang itu adalah tempat bertemunya jodoh. Oleh karena itu  budaya pamaccoq menjadi bagian dalam pertunjukan musik tradisional pakkacaping dan terus dipertahankan sampai  saat ini.

Paqmaccoq
Bagi masyarakat Mandar, budaya Pamaccoq sudah menjadi tradisi dalam setiap pertunjukan pakkacaping. Seperti dijelaskan bahwa macoq atau mappamaccoq adalah suatu tradisi memasukkan uang atau barang berharga lainnya ke dalam tempat yang telah disediakan pada saat pertunjukan kecapi sedang berlangsung. Gadis yang duduk selaku yang ditonton kecantikannya oleh pemuda senantiasa mendapat pujaan atau ditede (dipuja-puja), para pemuda yang menaruh hati akan berlomba-lomba memasukkan uang “mappamaccoq” ke dalam baki tempat khusus yang disedikan di depan para gadis.[4]
Semua penonton yang hadir dalam pertunjukan musik tradisional pakkacaping dapat dikatakan sebagai pamaccoq, jika ia melakukan atau memberi dan meletakkan sesuatu di atas kappar (baki) sebagai tempat yang telah disediakan di hadapan tipalayo (gadis-gadis).  Adanya budaya pamaccoq, sangat mempengaruhi keberlangsungan  pertunjukan pakkacaping, budaya pamaccoq membuat pertunjukan lebih hidup dan bersemangat, karena selama kegiatan ini berlangsung diiringi dengan petikan kecapi oleh pemain kecapi dengan bersemangat, semua penonton pun dengan riuh terdengar teriakan  dan tepuk tangannya untuk memberikan semangat dan motivasi untuk melakukan pamacco. Tidak jarang dalam kegiatan ini, penonton saling mengejek, tidak mau kalah antara satu dengan lainnya, tidak jarang terjadi jika ada penonton yang tidak membawa uang, karena mau pamaccoq maka sabuk atau ikat pinggangpun  atau apapun yang bisa dihargai bisa menjadi barang pamacco. Pada saat pertunjukan berlangsung bahkan ada  beberapa penonton yang memberikan, kamera, HP kepada tipalayo.


Penonton
Menonton pertunjukan Pakkacaping Mandar baik yang disajikan di lapangan terbuka, maupun yang disajikan di atas pentas atau baruga (panggung) dapat dihadiri oleh seluruh pemuda dan pemudi, orang tua, bahkan anak-anak laki-laki maupun yang perempuan atau seluruh masyarakat tanpa batas umur dan tingkatan sosial tertentu. Dalam artian bahwa untuk menyaksikan pertunjukan kecapi tidak dibatasi siapa penontonnya, sebagai kata lain dari bebas dapat disaksikan oleh siapa saja.
Penonton atau masyarakat adalah orang-orang yang datang menyaksikan pertunjukan, dalam hal ini adalah pertunjukan pakkacaping. Menonton pertunjukan pakkacaping, tidak seperti jika menonton kebanyakan pertunjukan lainnya. Pada pertunjukan pakkacaping penonton juga terlibat dalam permainan atau pertunjukan. Keterlibatan penonton dalam pertunjukan pakkacaping sangat jelas, itu ketika ada interaksi atau adanya sikap saling merespon antara penonton dengan pemain saat pertunjukan sedang berlangsung. Tidak jarang pemain melontarkan syair-syairnya yang menghibur, karena terinspirasi  oleh kata-kata yang dilontarkan oleh penonton. Selain itu,  penonton pakkacaping adalah juga pamaccoq (orang pemberi  uang atau barang) yang terkait dengan tipalayo (gadis-gadis)  yang duduk di samping pemain
Keterlibatan  penonton  dalam pertunjukan kecapi di Mandar,  menyisyaratkan bahwa pertunjukan ini adalah pertunjukan yang bersifat  kerakyatan, terlebih melihat interaksi  sosial, saat pertunjukan berlangsung penonton terlihat saling mengejek namun penuh keakraban satu sama lain.  Hal ini terjadi baik  antara pemain dengan pemain, penonton  dengan penonton bahkan sebaliknya atau siapa saja yang ikut menyaksikan  pertunjukan pakkacaping.  Dalam fenomena  seperti ini,  dapat dikatakan bahwa, pakkacaping juga berfungsi sebagai media untuk interaksi sosial masyarakat  Mandar.
Suasana keakraban juga sangat jelas  terlihat, seperti dengan melihat posisi dan jarak penonton dengan pemain. Saat menyaksikan pertunjukan ini, penonton  pada posisi duduk  melingkar mengelilingi  arena pertunjukan. Adapun  jarak penonton dengan pemain  kecapi  hanya berkisar `1,5 meter atau dua meter, dan hampir dikatakan tidak berjarak karena sewaktu-waktu penonton mendekati pemain kecapi. Posisi dan jarak yang demikian  itu membuat pertunjukan ini sangat berkesan sederhana,  namun  memiliki fungsi  sosial  yang  sangat bermanfaat  di kalangan masyarakat Mandar.
Sangat jelas bahwa,  dalam  pertunjukan pakkacaping, baik  antara pakkacaping (pemain  kecapi),  tipalayo (gadis-gadis cantik), dan Pamacco (penonton  atau pemberi uang adalah tiga hal yang saling terkait  secara internal, oleh karena itu  tiga bagian  ini  tidak dapat  dipisahkan dalam setiap  konteks pertunjukan musik tradisional  pakkacaping.





DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber tercetak


Abdul  Muthalib (1977) Kamus Bahasa Mandar-Indonesia, Jakarta: Proyek  Pengembangan Bahasa dan Sastra dan Sastra Indonesia dan Daearah,

Banoe, Pono,  (2003). Kamus musik Yogyakarta : Kanisius

Desslers And Beagrande. De Introduction to text Linguistic, London and New york:L. Longman, 1981.

Digdo Bringgo A.G. And Hasan Shadili Ensiklopia Umum, Jakarta: Kanisius, 1973.

George Yule And Gillian Brown. Analis Wacana, Edisi Indonesia, Terj. Sutikno Dari Edisi Asli Discours Analisis, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1983.



Hybels Dan L. Weaver II, Richard. Soeprapto Soedjono. Dialetika Seni: ProsesKomunikasi Informasi Dan Tanggapan Estetis” , Dalam Y SumandiyoHadi, edt, et, al, Rinenggaring Pak Bandem Yang Ngebyar. Yogyakarta:Isi Yogyakarta, 2006.

Kluckhon and A.L Kroeber. Culture A Critical Review of Concepts Definition, USA:Cambridge, 1952.

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia,1994.


Halilintar Lathief (2003) Cerita yang Dianggukkan Sebuah  Ekspresi Tradisi Lisan Bugis, Makassar: Padat Daya
Malm, William P. Music Culture Pasipic, The Neard Eard And Asia, New Jersey :
Prentice Hal inc, Englewood Cliffs, 1977.

Merriam Alan P. The Anthropology of music, Cichago: Northwester UnivercityPress, 1964.
____________The Anthropology of music, Cichago: Northwester Univercity Press,1977.67
Maras, Basir Bustan. Paqbandangan Peppio, Annora Media Yogyakarta( Laraiyba Group Publising), 2009.

Nakagawa Shin. Musik dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi, Jakarta
Obor Indonesia, 2000.

Nettl Bruno. Theory and Method on Etnomusikologi, London : The Free Fres of
Glencoe, 1964.
R.M. Soedarsono (2002) Seni Pertunjukan Indonesia  di Era  Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah  Mada University Press
Purnomo Satrio, Drs., RPUL penerbit Bintang Indonesia Jakarta 2005
Razak, Amir, (2005) “Musik Tradisional Pakacaping Etnis Makassar Di Daerah Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan Eksistensi dan Perkembangannya”, tesis untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat  Sarjana S-2 Program  Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan  Seni Rupa Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,


Sedyawati Edi. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta : Sinar Harapan, 1981.

Sindrang A. Syaiful. Mengenal Mandar Sekilas Lintas, ,1994. Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Belanda (1667-1949) Yayasan kebudayaan Mandar Rewata Rio, Ujung pandang. 

Supanggah, R. Etnomusikologi, Yogyakarta: Yayasan Banten Budaya, 1996.

Solihing. Royong, Musik Vokal Komunikasi Gaib Etnik Makassar, Massagena Press,2004.

Sahabuddin, H. Dr. Prof. Menyibak Tabir Nur Muhammad Jakarta : Renaisan 2004. 

Sindrang, A. Syaiful. Mengenang Mandar Sekilas Lintas. Yayasan Kebudayaan Mandar Rewata Rio.

Titon Jeft Te dd. World Of Music, New York : A Division Of Macmilan Inc, 1992

Yasil Suradi, Ensiklopedi Sejarah, Tokoh, dan Kebudayaan Mandar. Lapar (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat) Sejarah dan Kebudayaan Mandar, 2004.

Yunus, H. Ahmad  et al. (1985) Ensiklopedi Musik Indonesia Seri K-O Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi  Kebudayaan daerah,


Wibisono Singgih, et, al,. Ensiklopedia Musik Indonesia seri K-O,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1985.

B. Sumber Tidak Tercetak
Dinas kebudayaan dan pariwisata PolMan, Laporan Inventaris dan Dokumentasi
Benda Cagar Budaya Kabupaten Polewali Mandar, 2006.

Hasyim Wahid, Pakkacaping Sebagai Kesenian Masyarakat Mandar, sebuah
Skiripsi salah satu persyaratan pencapaian Sarjana (S1) Initut Kesenian
Jakarta, 2006

Jalil, Abdul. Catatat Etnomuskologi, UNM Makassar, 2000.

Kurnia, Ganjar. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
M. Sahabuddin, Calong dalam masyarakat Mandar Kec. Balanipa. Skripsi sala satu persyaratan pencapaian Sarjana (SI) Universitas Negeri Makassar, (UNM)










Alat yang dipakai dalam pengambilan data adalah:
1. Kamera Digital Merek Mpix 5.0 Mega Pixels Pentax Lens f= 6.2-18.6 mm f=
2.8-5.2
2. Kamera Digital Merek Sony 2.7 Mega Pixels
3. Hp. Sony Ericson Tipe J.300i, Memori Bebas: 1720 KB
4. Tafe Recorder Merek Aiwa


DAFTAR INFORMAN


DSC01942Nama : H. Mahmud Ganna.
Umur : 74 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln. Anoa No. 170 Tinggas-tinggas Tinambung PolMan: beliau adalah seorang wiraswasta yang aktif pada tarekat Qadiriadan Organisasi Nahdatul Ulama sejak Tahun 70 an sampai sekarang,beliau juga adalah salah satu komisaris Golkar Todang-todangPolMan sampai sekarang, anak ke 2 dari lima bersaudara hasilpasangan Ganna dan Sawaar mempunyai seorang istri bernama Hj.Bahara dan 6 putra 4 putri, salah satu pendiri Komunitas SeniTradisional Assamalewuang Mandar 2003.





DSC01795Nama : Ka’ Dathira
Umur : 75 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln. Tammajarra No. 20, Batulaya Tinambung Polewali Mandar : penulis bertemu dengan beliau sejak tahun 1997 di Batulaya PolMan, salah seorang pemusik tradisional Mandar yang berprofesisebagai petani, karena keaktifannya membuat beliau seringdiundang pada setiap pertunjukan tradisi baik itu didalam maupundiluar Mandar, pernah mempunyai seorang istri tapi tidak dikaruniaianak, juga salah seorang pendiri Komunitas Seni TradisionalAssamalewuang Mandar 2003.




DSC04664Nama : Tombo Padzua
Umur : 85 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln Timbo No. 123 Oting Balanipa Polewali Mandar: berasal dari kampung Oting Desa Balanipa, Kecamatan BalanipaKabupaten Polewali Mandar, berprofesi sebagai Petani. penulisbertemu di salah satu perkampungan jauh dari Balanipa yaknikampung Ihing desa Pulliwa PolMan pada tanggal 21 Agustus 2003,beliau spesialis Calong anak dari pasangan Bapak Pazdua dan IbuKamuq, istri bernama Baicci mempunyai anak 10 orang, masihhidup 3 putra dan 1 orang putri, pendidikan terakhir adalah SR(Sekolah Rakyat) pernah bermain di Ujung pandang pada Zamanpenjajahan Belanda, karena ketekunannya disamping sebagaiseorang petani beliau juga sering dipanggil dalam memainkanCalong baik itu didalam maupun diluar Mandar, salah satu anggotadari tim kesenian Komunitas Seni Tradisional AssamalewuangMandar. Mempunyai anak binaan Calong, diantaranya Manija,Dani, Naga Wulan, Sandi, Hakim, Kardi Tombo dan Tasbih Tombo.








Nama               : Almr. Bapak Hamil
Umur               : 63 Tahun
Pekerjaan         : Wiraswasta
Alamat            : Jln Segerang, Mapilli Polewali Mandar

                        penulis bertemu disalah satu perkampungan disebut Segerang tahun2004 PolMan, salah seorang pemusik dalam bidang Kecapi Mandarberprofesi sebagai petani mempunyai istri Sembilan tapi tidakdisebutkan namanya anak juga tidak diketahui berapa jumlahnya,selama hidupnya selalu menjadi bagian dalam pertunjukan kecapiMandar, yang didalam catatan sejarahnya menggemari bermainkecapi dari jam 19.00 sampai pagi, sehingga kalau dilihat darikondiasi fisiknya maka kita akan menemukan mata yang kemerahmerahan.


DSC05816Nama               : Sakai (Pua Rusman)
Umur               : 55 Tahun
Pekerjaan         : Petani
Alamat            : Jln. Pangalloan, Mosso, Kecamatan Balanipa. PolMan. berasal darikampung Pangalloan Desa Mosso, Kecamatan Balanipa KabupatenPolewali Mandar. Yang berprofesi sebagai Petani. penulis bertemudi salah satu perkampungan jauh dari Balanipa yakni kampungPangalloang desa Mosso PolMan 2006, beliau adalah pelaku sejarahanak dari pasangan Bapak Candun dan Ibu Nila, mempunyai anak 6orang, masih hidup 3 putra dan 3 orang putri, mulai bermain Calongsejak tahun 1962, masih aktif sekarang dalam memainkan saat lagisenggang dipenungguan tanam-tanaman. Selama dalam memainkan
tidak pernah berhenti berharap kepada pemerintah untuk tetap melestarikan dan mengembangkan.



DSC05789Nama : Abdullah (Ka Salding)
Umur : 66 Tahun
Pekerjaan : Pengolah Tali bekas
Alamat : Jln. Lambe, Lambe Karama, Kecamatan Tinambung. PolMan
            Tahun 1940, umur 66 Tahun penulis bertemu di salah satuperkampungan disebut Lambe Desa Karama PolMan pada tanggal11 Sep 2006, beliau spesialis Calong, anak dari pasangan BapakSeleq dan Ibu Jumuriah, istri bernama Sunaiyah mempunyai anak11 orang, masih hidup 3 putra dan 2 orang putri, pendidikan terakhiradalah SR (Sekolah Rakyat) mulai berkesenian sejak tahun 1944.Pertunjukan Saresehan Budaya dan kemilau seni Sulawesi Polmandan Makassar 2006, menjadi Duta seni pada Even Sandeq Rece2007, karena ketekunannya disamping sebagai seorang pengolahdaur ulang Tali bekas, beliau juga sering dipanggil dalammemainkan Calong baik itu didalam maupun diluar Mandar, salahsatu anggota dari tim kesenian Komunitas Seni TradisionalAssamalewuang Mandar.


DSC05784Nama : Kaimuddin K
Umur : 40 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta Tali Rompong
Alamat : Jln. Lambe, Lambe Karama, Kecamatan Tinambung. PolManberasal dari kampung Lambe Desa Karama, Kecamatan TinambungKabupaten Polewali Mandar. Yang berprofesi sebagai WiraswastaTali Rompong, lahir di Polmas 27 April 1967, umur 40 Tahun,penulis bertemu di salah satu perkampungan disebut Lambe DesaKarama PolMan pada tanggal 11 Sep 2006, beliau spesialis Calong
anak dari pasangan Bapak Kaco dan Ibu Wariah, istri bernamaDahriana mempunyai anak 6 orang, masih hidup 3 putra dan 3 orangputri, pendidikan terakhir adalah SLA (Sekolah Lanjutan Atas)mulai berkesenian sejak tahun 1974. Pertunjukan Saresehan Budayadan kemilau seni Sulawesi Polman dan Makassar 2006, menjadiDuta seni pada Even Sandeq Rece 2007, karena ketekunannyadisamping sebagai seorang pengolah Wiraswasta, beliau juga seringdipanggil dalam memainkan Calong baik itu didalam maupudiluar Mandar, menjadi Komposer Calong pada pembukaan Porda Sesulawesi Barat 2007, salah satu anggota dari tim kesenianKomunitas Seni Tradisional Assamalewuang Mandar. Mempunyaiharapan sebagai pembuat Calong untuk lebih dikembangkan dandilestarikan lagi.


DSC01939Nama               : Yali Yasseng
Umur               : 57 Tahun
Pekerjaan         : Mantan Anggota DPRD Polewali Mandar
Alamat            : jalan Kris Muda Tinambung Kab. Polewali Mandar.














Foto0006Nama               : H. Murad
Umur               : 70  T ahun
Pekerjaan        : Wiraswasta
Alamat            : jalan Kris Muda Tinambung Kab. Polewali Mandar.
















DSC01962Nama               : Suani